Jakarta (ANTARA News) - Mulai Mei 2009 selama  tiga bulanan akan diselenggarakan China Expo di Shanghai. Expo tersebut tentunya menarik perhatian para pembuat kebijakan, eksekutif bisnis dan perbankan, serta pengamat Indonesia untuk membentuk kerjasama tim (team work) merencanakan secara matang berpartisipasi sesuai kapasitas masing masing.

China Expo tentunya sudah disiapkan jauh-jauh hari, namun para pembuat kebijakan ekonomi China jelas tidak mau tinggal diam atau pasrah dalam menerima dampak krisis ekonomi global.

Fokus mengatasi dampak yang menurunkan ekspor mereka itu adalah pada sektor riil, industri dan perdagangan  dalam negeri maupun internasional. Jika dicermati, China menyiapkan serangkaian langah realisasi kebijakan perekonomiannya sejak 1978. Bahkan, pada 1992 dengan perjalanan spektakuler ke selatan (southern tour), Deng Xiaoping negarawan yang meniupkan gaige kaifang alias keterbukaan dan reformasi ekonomi.
 
Hal itu pada giliranya menggairahkan jiwa kewirausahaan (entreprneurship) masyarakatnya, terutama di kawasan pantai. Selain itu, kebijakannya meningkatkan investasi dalam industri berbentuk usaha patungan dengan China (joint venture) dari negara tetangga, antara lain Jepang, Korea Selatan, Asia Tenggara, Amerika dan Eropa.

Hal menggairahkan bagi bangsa China adalah kesadaran Zhi Fushi Guangrong alias "menjadi kaya itu mulia" dengan memupuk jiwa kewirausahaan (entrepreneurship) tersebut dalam kemampuan berbisnis secara profesional dan kredibel. Mayoritas industri sebagai eksportir China itu skalanya menengah dan dengan jaringan kerja (networking) ke skala rumah tangga domestik.

Para importir menangkap kegesitan pemilik dan karyawan  dalam upaya berprestasi menjadi acuan yang mengagumkan dunia luar. Hal itu yang dikenal sebagai budaya produktivitas yang tinggi, walaupun ada keseratan ekonomi dewasa ini.

Donald N. Sull & Yong Wan mengulas dalam Made in China, what western managers can learn from Trailblazing Chinese Entreprenuer (2004)  mengamati kegesitan sehari-hari para pimpinan dan manajemen China, yang membekali diri dengan  pengetahuan dan yang harus berani menggugat diri dalam kemandekan operasi bisnis.

Salah satu konsepnya adalah proses menerapkan inovasi biaya (cost innovation) membuat berbagai perusahaan di luar China grogi. Mengapa demikian? Dengan inovasi itu  manajemen China memakai strategi menerapkan teknologi tinggi ke dalam industrinya yang memproduksi secara massal (high technology to price competitive mass markets) sambil menawarkan makin banyak variasi produk dengan tetap mempertahankan biaya rendah.

Tahun 1970an pun industrialis Jepang melakukan proses yang serupa hingga merajai pasaran elektornika dan otomotif dunia, meskipun tidak mereka sebut "inovasi biaya" sampai belakangan ini.

Bayangkan saja, sejak beberapa tahun pasar di Indonesia pun dibanjiri aneka produk buatan China (made in China), mulai dari makanan jadi, mainan, buah buahan, obat obatan, alat rumah tangga sampai elektronika, kendaraan bermotor dan suku cadang  produk produk yang diperlukan konsumen. Kenyataan ini sesungguhnya tidak hanya di Indonesia dan negara-negara di kawasan Asia, bahkan Amerika dan Eropa juga  dilimpahi produk produk China.

Pada gilirannya kemudian, China juga melakukan ekspansi dagangnya melalui Internet di http://www.madeinchina.com sehingga transaksi pun dapat berlangsung secara online.

Banyak peneliti dan pengamat luar China kagum bahwa China memproduksi lebih dari 75 persen mainan anak yang tersebar luas di dunia, 60 persen pakaian jadi (garment) dan 35 persen produk telepon seluler (ponsel) yang sudah mendunia.

Jangan terkejut pula kalau suatu saat dalam dua tiga tahun mendatang China akan berhasil membuat pesawat terbang komersil untuk masyarakat dunia. Berbagai produk konsumen China umumnya mulai dari shampo, jepit rambut, kemeja, sepatu, alat listrik dan elektronik sampai kendaraaan  bermotor kini cenderung sudah berada di depan pintu konsumen.

Merek bisa saja tidak "ngetren", tapi produk China yang "keren" sudah merambah ke mana-mana. Produsen barang konsumsi umumnya skala kecil dan menengah, kecuali elektronik dan kendaraan bermotor yang skalanya menengah dan besar, karena secara tidak langsung mencontoh pengalaman yang dilalui salah satu perusahaan mereka, yakni Legend atau Haier.

Hal lainnya yang menarik adalah bahwa para industriawan dan manajemen menengah China tidak senantiasa bersedia hanya menjadi rekan pendiam (silent partner) terhadap penanaman modal asing (PMA) dari Jepang, Eropa maupun Amerika.

Para eksekutif bisnis China terus menggali pengetahuan dan kalaupun ada kader partai yang tertarik untuk berpengetahuan bisnis sampai tingat internasionalisasi. Para kader itu digiring oleh pemerintah pusat maupun propinsi untuk mulai belajar dari awal dalam bentuk kursus singkat (short courses) yang berulang-ulang, dan bukan berpolitik melulu.

Selain inovasi biaya, China mengenalkan pula konsep siklus SAPE = Sense, Anticipate, Prioritize, Execute yang  merupakan alternatif  proses perencanaan dalam strategi yang lain dari yang lazimnya dipraktekkan  perusahaan lain. Merek produk PC (Personal Computer)-nya merek Legend dalam keberhasilan proses produksi dengan SAPE cycle dalam proses kewirausahaan dan menanamkan jiwa pada karyawan untuk menghayatinya.

Suatu model mental, agar berani mengantisipasi peluang dan ancaman  kemunduran dan kegagalan  dengan memilih pada satu arah untuk mampu bersaing, menetapkan prioritas bergerak strategis, dan melaksanakan menjadikan sasaran berwujud (tanglible objectives).

Jadi, di China kreativitas masing-masing industri dalam operasi produksi dan bisnis menarik. Produsen China terkenal dengan inovasi biaya hingga menjadikan hasil produknya terjangkau oleh kelas menengah ke bawah.

Dalam perjalanan waktu, mereka  tidak terus menghasilkan produk kelas bawah low-end products dengan strategi harga murah. Sebagai salah satu sarana inovasi biaya, China menerapkan teknologi yang lebih maju (more advanced technology) untuk diferensiasi produk  dalam proses produksi masal dengan tetap mempertahankan  harga dengan marjin yang biasanya hanya sekitar 15 hingga 20 persen dengan kalkulasi harga  yang efisien, sedangkan umumnya produsen Jepang marjinnya sekitar 30 persen, dan  Amerika 35 hingga 45 persen.

Berbagai hal itulah yang menjadi tantangan yang menarik bagi usahawan/industriawan Indonesia untuk mempelajari secara seksama bagaimana implementasi inovasi biaya dalam sektor masing-masing dengan budaya produktivitas atas dasar kerja keras dan cerdas, serta terus menggali informasi pengetahuan berbasis teknologi dan ketrampilan dari luar China.

(*) *) Bob Widyahartono, MA (bobwidya@cbn.net.id) adalah pengamat ekonomi/bisnis Asia Timur, dan Lektor Kepala di Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanegara (FE Untar) Jakarta. (*)

Oleh Oleh Bob Widyahartono, MA
Copyright © ANTARA 2009