Jakarta (ANTARA News) - Agama tidak akan memicu konflik di tingkat masyarakat saat pelaksanaan pemilihan umum karena pengaruh agama dalam politik tidak lagi dominan.

Demikian pendapat yang mengemuka dalam diskusi bertajuk "Antisipasi Konflik Umat Beragama Menjelang Pemilu 2009" di gedung PBNU, Jakarta, Kamis.

Ketua PBNU Prof KH Said Aqil Siradj berpendapat, dalam politik yang paling dominan adalah kepentingan sehingga benturan kepentingan, terutama antar partai yang memiliki basis massa sama, itulah yang berpotensi memicu konflik.

"Jadi, walaupun sama-sama partai Islam, namun jika berebut kepentingan yang sama maka akan konflik. Tapi dengan PDS malah tidak konflik karena jualannya tidak sama," katanya.

Senada dengan Said Aqil, cendekiawan sekaligus rohaniwan Katolik Romo Beny Susetyo menyatakan, jika terjadi konflik saat pemilu, bisa dipastikan pemicunya bukan faktor agama. Sebab, politisasi agama sudah tidak lagi laku di Indonesia.

Justru, kata Beny, konflik akan datang dari partai, terlebih dengan adanya mekanisme suara terbanyak untuk penentuan caleg terpilih yang membuat persaingan makin panas.

Faktor lain, kata Beny, terkait profesionalisme penyelenggara pemilu. "Kalau penyelenggara pemilu tidak profesional, tidak jurdil, bisa timbul konflik," katanya.

Direktur Eksekutif Reform Institute Yudi Latif menyatakan, saat ini telah terjadi pergeseran dalam konflik pemilu atau konflik politik.

Menurut Yudi, pada masa lalu, agama atau ideologi bisa memicu konflik politik, namun sekarang konflik politik lebih disebabkan persoalan kepentingan, khususnya antarpartai atau antarcaleg.

Politisi Partai Golkar Slamet Effendy Yusuf berpendapat, konflik di dalam pemilu bisa dihindari, salah satunya melalui pencitraan. Oleh karena itu, skenario pemilu damai harus terus dibangun.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009