Jakarta (ANTARA News) - Setelah "sukses" menghapuskan retribusi terminal dan uji kir bagi angkutan umum, kini Organisasi Angkutan Darat (Organda) juga meminta Pemerintah mengkontrol harga suku cadang kendaraan sebelum mereka mau menurunkan tarif taksi. "Nanti (penurunan tarif taksi) akan digodok di Dishub (Dinas Perhubungan). Kalau diputuskan untuk turun maka pemerintah harus jamin suku cadang bisa dikontrol dengan harga yang sesuai. Kalau tak bisa kontrol maka tarif harus balik lagi," kata Sekretaris Organda DKI TR Panjaitan di Jakarta, Jumat. Saat ini, tarif taksi ada dua yakni tarif batas bawah dan batas atas. Tarif batas bawah dipatok buka pintu Rp5.000, per kilometer Rp2.500 dan tarif tunggu Rp18.000 per jam sedangkan batas atas dipatok buka pintu Rp6.000, per kilometer Rp3.000 dan tarif tunggu Rp25.000 per jam. Sementara itu, setelah terjadi penurunan bahan bakar minyak (BBM) hingga tiga kali, tarif taksi belum mengalami penurunan dan tarif angkutan umum mengalami penurunan rata-rata sebesar Rp500. Panjaitan menyebut harga suku cadang yang meroket setelah terjadi kenaikan harga BBM tidak mengalami penurunan meskipun harga BBM turun hingga kembali ke harga awal sebelum terjadi kenaikan harga pada Mei 2007. "Suku cadang naik mulai 20-25 persen," kata Panjaitan. Ia mencontohkan ban mobil bus yang tadinya seharga Rp1,3 juta naik menjadi Rp1,5 juta dan aki yang seharga Rp500 ribu naik menjadi Rp2 juta. Kepala Bidang Angkutan Darat Dishub Hendah Sunugroho menyebut pihaknya telah meminta Organda untuk mengevaluasi tarif taksi yang berlaku. "Selasa (10/3) nanti kita akan bertemu dengan Organda dan DTKJ. Selasa kita harap akan muncul nilai rupiahnya (penurunannya)," katanya. Namun Dishub disebutnya tidak dapat menetapkan penurunan tarif itu karena angkutan taksi termasuk non ekonomi yang besaran tarifnya ditentukan oleh mekanisme pasar. Penentuan tarif disebutnya berawal dari usulan Organda kepada Dishub untuk kemudian dikaji dan disetujui oleh Gubernur lewat Pergub. Sementara Hendah menyebut penurunan ini memang baru terjadi pertama kalinya sehingga terkesan berlarut-larut yang antara lain disebabkan operator menolak untuk menurunkan tarif seperti tuntutan masyarakat. "Memang susah karena penurunan baru kali ini terjadi. Dulu-dulu kan naik terus. Organda menolak adalah memang haknya. Tidak ada paksaan karena angkot non ekonomi merupakan mekanisme pasar," ujarnya. (*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009