Jakarta (ANTARA) - Sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) mendesak pemerintah menghentikan segala bentuk perjanjian utang luar negeri baru dan tidak berkomitmen untuk melanjutkan putaran Doha dalam pertemuan G20 di London, Inggris.

"Kami menolak rencana penambahan modal kepada ADB (Asian Development Bank) dan mendesak pemerintah untuk keluar dari keanggotaan ADB," kata staf Media dan Informasi Koalisi Anti Utang (KAU), Irvan Duriatnata yang menandatangani pernyataan bersama dengan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) dan LSM lainnya di Jakarta, Selasa.

Ia menyesalkan rencana pemerintah menyetor tambahan modal Rp400 miliar kepada ADB sampai tahun 2014 berdasarkan pertimbangan jika menambah modal, pemerintah akan mendapat fasilitas pinjaman 1 miliar dolar AS setiap tahun dari ADB.

"Ini sebuah sikap keranjingan utang rezim neoliberal demi melayani kepuasan korporasi multinasional tanpa mempertimbangkan beban ekonomi dan sosial yang harus ditanggung oleh rakyat miskin," katanya.

Pinjaman ADB tersebut juga merupakan skenario untuk mengeruk habis sumber daya alam Indonesia, seperti pinjaman ADB sebesar 350 juta dolar AS untuk proyek LNG Tangguh di Papua demi melayani pasokan energi bagi negara industri maju dengan harga yang sangat murah, tambahnya.

Disebutkannya, bersama negara kapitalis maju pada pertemuan G20 di Washington, pemerintah telah menyepakati langkah reformasi struktural perekonomian dunia yang tengah krisis berlandaskan pada prinsip pasar.

Hal tersebut dilakukan dengan cara mendorong rezim investasi dan perdagangan bebas dan meningkatkan peran lembaga-lembaga keuangan internasional seperti IMF, Bank Dunia, atau ADB.

Menurut dia, pelaksanaan agenda-agenda ekonomi pasar bebas dan penyaluran utang luar negeri merupakan penyebab dari hilangnya kedaulatan ekonomi negara atas sumber daya alam dan menciptakan kesenjangan ekonomi dan sosial yang semakin tajam di Indonesia.

Karena itu pihaknya mendesak dilakukannya audit secara komprehensif seluruh proyek utang luar negeri, serta dilanjutkan dengan melakukan penyelidikan atas penyelewengan proyek utang serta meminta penghapusan atas proyek utang yang menimbulkan kerusakan sosial ekonomi agar tidak lagi menjadi beban anggaran Negara.

Pihaknya juga meminta pemerintah menghentikan penerbitan Surat Utang Negara (SUN) yang telah membebani anggaran negara.

"Kami juga menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tidak memilih calon anggota legislatif atau calon presiden yang masih melanjutkan ketergantungan terhadap pembiayaan utang luar negeri maupun dalam negeri," katanya.

Hingga saat ini, ujar Irvan, komitmen pinjaman siaga dinyatakan pemerintah telah mencapai 6 miliar dollar AS (setara Rp66 triliun), yang bersumber dari Bank Dunia, Bank Pembangunan Islam (IDB), Bank Pembangunan Asia (ADB), Pemerintah Australia, dan Pemerintah Jepang.

Selain menimbulkan peningkatan jumlah stok utang serta biaya-biaya lain yang harus ditanggung seperti "commitment fee", "up-front fee" dan lainnya, pinjaman melalui skema DDO (Deferred Drowdown Option) ini juga tetap mensyaratkan melakukan penyesuaian kerangka makro ekonomi dan mengikuti program-program liberalisasi ekonomi.

Dalam APBN 2009, porsi pembayaran cicilan pokok dan bunga utang sudah mencapai Rp162 triliun. Padahal temuan BPK, KPK, dan BPKP telah menyatakan bahwa banyak dari proyek utang luar negeri telah diselewengkan.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2009