Jakarta (ANTARA News) - Kampanye negatif dinilai efektif mendongkrak popularitas partai politik (parpol) maupun calon anggota legislatif (caleg) sekaligus mencerdaskan masyarakat.

"Tetapi kampanye model ini justru banyak dihindari, bahkan ditakuti parpol maupun caleg," kata pakar pemasaran politik Universitas Indonesia Dr. Firmanzah dalam dialog kenegaraan bertema "Mendorong Kampanye Cerdas" di Gedung Dewan Perwakilan Daerah, Senayan, Jakarta, Rabu.

Firmanzah mengemukakan, kampanye negatif diperbolehkan, walaupun tidak diatur dalam UU tentang Pemilu maupun UU tentang Pemilihan Presiden. "Yang tidak diperbolehkan itu black campaign (kampanye hitam)."

Dia menjelaskan, kampanye negatif berbeda dengan kampanye hitam karena kampanye negatif didasarkan pada data-data akurat yang menjadi kelemahan parpol atau caleg.

Oleh karena itu, model kampanye seperti ini justru mencerdaskan masyarakat dalam menetapkan pilihan-pilihan politiknya saat Pemilu, sepanjang data yang diungkapkan akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.  Pelaku kampanye negatif juga tak dapat dituntut secara hukum.

"Sedangkan kampanye hitam tidak didasarkan pada data akurat, tendensius dan cenderung fitnah serta pencemaran nama baik," kata Firmanzah.

Oleh karena itu, pelaku kampanye hitam dapat dijerat dengan KUHP maupun ketentuan UU lainnya.

"Jadi pengertiannya berbeda. kampanye negatif itu efektif dan mencerdaskan pemilih karena didasarkan data akurat, dan merupakan seni berpolitik," katanya.

Dia mencontohkan, manuver sejumlah politisi muda di DPR mengenai isu kepemimpinan muda adalah kampanye negatif bagi pemimpin yang sudah berusia tua karena kenyataannya banyak pemimpin yang berusia tua.

Sedangkan contoh kampanye hitam dapat dilihat pada kasus tuduhan yang disampaikan salah satu Wakil Ketua DPR mengenai pernikahan salah satu pejabat negara sebelum masuk Akabri.

Mengenai buku "Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando" yang ditulis mantan Danjen Kopassus Sintong Panjaitan, Firmanzah menilai, jika data dalam buku itu tidak dapat dipertanggungjawabkan atau dibuktikan, maka itu termasuk kampanye hitam kepada Prabowo

Sebaliknya, jika Prabowo menulis buku yang membantah isi buku Sintong Panjaitan itu, namun datanya kurang akurat, maka itu adalah kampanye hitam kepada Sintong.

Firmanzah sendiri penerbitan buku ini sudah terlambat, jika dianggap memiliki kepentingan politik tertentu berkaitan dengan Prabowo.

"Kalau mau efektif, semestinya sebulan lalu agar memperoleh pemberitaan luas dan terus-menerus. Sekarang sudah terlambat, perhatian publik sudah kepada kegiatan kampanye," katanya. (*)

Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2009