Jakarta (ANTARA News) - Gubernur Bank Indonesia Boediono mengatakan, ketergantungan terhadap dolar AS dalam transaksi internasional menjadi sumber kerawanan terhadap perekonomian yang bisa memicu krisis.

"Ketergantungan banyak negara termasuk Indonesia pada dolar AS untuk menyelesaikan transaksi internasional ini sebenarnya adalah salah satu sumber kerawanan," katanya dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa.

Namun menurut dia, sulit bagi bangsa-bangsa dalam waktu dekat untuk melepaskan diri dari ketergantungan tersebut.

"Tapi memang sulit untuk dalam waktu dekat untuk melepaskana diri, saya kira tidak banyak negara yang bisa melepaskan diri dari dominasi dolar AS dalam transaksi internasionalnya," katanya.

Menurut dia, sumber kerawanan dari ketergantungan terhadap dolar AS ada dua. Pertama, adalah ketergantungan likuiditas dolar AS yang tinggi terhadap domestik perekonomian AS atau dengan kata lain likuiditas dibatasi oleh perekonomian AS.

"Jumlah likuiditas yang tersedia untuk menyelesaikan transaksi ekonomi tergantung sekali dengan domestik ekonomi AS. Kalau AS tidak mau melakukan pelonggaran likuiditas menyebabkan deleveraging (melemahnya mata uang berbagai negara karena dolar AS disedot oleh pemerintah AS)," katanya.

Yang kedua adalah tidak stabilnya nilai tukar, karena adanya kemungkinan kemerosotan tajam akibat krisis ekonomi.

Adanya kekhawatiran ke depan, dolar AS akan merosot tajam seiring dengan banyaknya dolar AS yang digelontorkan pemerintah AS untuk menyembuhkan krisis ekonomi yang terjadi saat ini.

"Nilai (dolar AS) yang tidak bisa dipastikan dan likuiditas yang bisa `molor mungkret` (tidak stabil) ini membuat kerawanan," katanya.

Ia menambahkan, selama ini, banyak negara-negara berkembang yang menjadi korban dari fenomen `molor mungkret` ini. Padahal, mereka tidak melakukan tindakan yang salah dalam perekonomian, namun secara tiba-tiba perekonomian mereka memburuk akibat kondisi dolar AS yang tidak stabil, seperti saat ini.

Menurut dia secara pribadi, pembentukan mata uang dunia secara internasional diperlukan untuk mengatasi kendala tersebut. Sehingga perekonomian suatu negara benar-benar lebih ditentukan oleh negara tersebut.

Misalnya perdagangan bilateral tidak lagi dipengaruhi oleh kondisi ekonomi domestik AS yang menyebabkan instabilitas nilai tukar.

Selain pembentukan mata uang internasional seperti special drawing rights (SDR) yang bisa digunakan untuk transaksi perdagangan internasional, ia juga mengatakan perlunya mendiversifikasi penggunaan mata uang lainnya selain dolar AS untuk transaksi internasional.

Dengan demikian, dalam transaksi internasional antar dua negara misalnya, tidak perlu menggunakan mata uang dolar AS, namun bisa langsung menggunakan mata uang dua negara yang bertransaksi tersebut.

Ia menambahkan, saat ini, pihaknya telah memulai langkah kecil mendiversifikasi mata uang untuk transaksi internasional dengan melakukan kerjasama billateral currency swap arrangement (BCSA/pertukaran mata uang) dengan People`s Bank of China (PBC/bank sentral China).

Dalam kerjasama senilai Rp175 triliun atau setara 100 miliar renmimbi, nantinya diharapkan para pengusaha kedua negara menggunakan mata uang rupiah dan renmimbi dalam pembayaran transaksi bilateral.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009