Jakarta (ANTARA News) - Kejaksaan Agung (Kejagung) menggandeng Departemen Keuangan (Depkeu) untuk mengkaji utang obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Syamsul Nursalim sebesar Rp4,78 triliun.

"Hal itu dikaji bukan hanya dari Jamdatun (Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara), tapi bersama-sama dengan instansi lain," kata Jaksa Agung, Hendarman Supandji di Jakarta, Jumat.

Masih adanya utang bos Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Syamsul Nusalim terungkap dalam persidangan Jaksa Urip Tri Gunawan terkait kasus suap dari Artalyta Suryani alias Ayin sebesar 660 ribu dollar AS di Pengadilan Tipikor pada Mei 2008.

Majelis hakim menyatakan pemilik BDNI itu masih berutang sebesar Rp4,76 triliun, dan seharusnya mantan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kemas Yahya Rahman mengumumkan wanprestasi Syamsul Nursalim tersebut.

Jaksa Agung menyatakan tentang uang Rp4,78 triliun tersebut, sudah ada telaah dari Jamdatun. "Apakah itu bisa ditagih atau tidak, saya belum tahu hasilnya. Tetapi itu sudah pembahasan," kata Hendarman .

Dikatakan, nantinya apakah kasus itu akan merupakan suatu kerugian negara atau tidak, hal tersebut harus ditindaklanjuti.

Ia mengatakan, seandainya Rp4,78 triliun itu dianggap kerugian negara, maka tentunya yang harus menuntut adalah menteri keuangan (menkeu) dengan memberikan surat kuasa khusus (SKK) ke jaksa agung.

"Tapi kalau itu merupakan kerugian yang harus masuk dalam jalur PUPN (Panitia Urusan Piutang Negara), itu kewenangan menkeu," katanya.

Pada 29 Februari 2008, kejaksaan menyatakan tidak menemukan perbuatan melawan hukum yang mengarah pada tindak pidana korupsi dalam dua kasus BLBI, Bank Central Asia (BCA) dan Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI).

Jaksa Urip Tri Gunawan, merupakan salah satu dari 35 jaksa penyelidik dua kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Hakim tipikor menyatakan uang yang diterima Urip Tri Gunawan dari Ayin, terbukti berkaitan dengan penyelidikan kasus BDNI milik Syamsul Nursalim. (*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009