Jakarta (ANTARA News) - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang-Undang (UU) Nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilu yang berkaitan dengan perhitungan cepat (quick count).

Hal tersebut merupakan putusan majelis hakim konstitusi dalam sidang putusan uji materi UU Pemilu yang diajukan oleh Denny Yanuar Ali dan Umar S Bakry, di Gedung MK, Jakarta, Senin.

"Menyatakan mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," kata pimpinan majelis hakim konstitusi, Mahfud MD.

Seperti diketahui, pemohon Denny Yanuar Ali (Ketua Umum Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia (Aropi) dan Umar S Bakry (Sekjen Aropi), menyatakan Pasal 245 ayat (2), ayat (3), dan ayat (5), kemudian Pasal 282 dan Pasal 307 UU Pemilu, bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945.

Pemohon menilai keberadaan pasal tersebut, tidak memberi rasa keadilan dan kepastian hukum kepada para pegiat riset opini publik. Pasal di dalam UU Pemilu itu, mengatur pelarangan perhitungan cepat.

Majelis hakim konstitusi menyatakan Pasal 245 ayat (2), ayat 3, Pasal 282 dan Pasal 307 UU Pemilu, bertentangan dengan UUD 1945.

"Menyatakan Pasal 245 ayat (5) UUD Nomor 10 tahun 2008, sepanjang frasa ayat (2), ayat (3), dan` bertentangan dengan UUD 1945," katanya.

Disebutkan, pasal-pasal tersebut, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Majelis berpendapat mengenai ketentuan Pasal 307 UU Pemilu yang berbunyi "setiap orang atau lembaga yang melakukan penghitungan cepat dan mengumumkan hasil penghitungan cepat pada hari/tanggal pemungutan suara, dipidana dengan pidana penjara paling singkat enam bulan dan paling lama 18 bulan dan denda paling sedikit Rp6 juta dan paling banyak Rp18 juta."

"Maka keberadaan Pasal 307 UU Nomor 10/2008, tidak lagi relevan, sehingga juga harus dinyatakan inskonstitusional," katanya.

Soal Pasal 245 ayat (2) UU Pemilu yang berbunyi, "Pengumuman hasil survey atau jajak pendapat tidak boleh dilakukan pada masa tenang", mahkamah menilai bahwa hak-hak dasar yang diatur dalam Pasal 28F UUD 1945 tidak dapat dikesampingan oleh ketentuan UU tersebut.

"Artinya, pengumuman hasil survey tersebut, tidak inskonstitusional sepanjang tidak berkaitan dengan rekam jejam atau bentuk lain yang dapat menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu yang sudah diatur dalam Pasal 89 ayat (5) UU Nomor 10/2008," katanya.

Menanggapi putusan itu, pemohon Denny YA, mengatakan, putusan MK tersebut menegakkan akademik dan memulihkan demokrasi yang sehat.

"Mulai hari ini lembaga survei dan televisi boleh menyiarkan berita di hari pemilu, serta boleh mengumumkan hasil survey di masa sela. Tidak ada lagi, sanksi pidana," katanya.

Sementara itu, tiga hakim konstitusi, Achmad Sodiki, M Akil Mochtar dan M Arsyad Sanusi, mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinions).
(*)

Pewarta:
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2009