Denpasar (ANTARA News) - Konsultan penyakit kronis dan infeksi di FKUI/RSCM, Jakarta, Prof. Dr. dr. Sri Rezeki S. Hadinegoro, SpA(K) mengemukakan, penggunaan istilah pada penyakit Flu Singapura adalah salah kaprah.

"Penyakit yang disebut Flu Singapura itu bukan tergolong flu, tapi masuk pada famili herpes. Kalau flu itu ditandai dengan adanya panas tinggi dan batuk pilek, sedangkan yang disebut Flu Singapura itu kan tidak demikian," katanya di sela-sela pada simposium aliansi strategis negara-negara Asia untuk pencegahan penyakit pneumonia (ASAP) di Denpasar, Sabtu.

Ia mengemukakan, pada penyakit yang disebut Flu Singapura itu hanya ditandai dengan kondisi suhu tubuh yang hangat dan yang diserang adalah mulut, tangan dan kaki. Namun, ia mengingatkan bahwa penyakit itu beda dengan yang menyerang hewan ternak.

"Biasanya penyakit yang disebut Flu Singapura itu ditandai dengan adanya gelembung di tangan dan telapak kaki yang di dalamnya ada cairan. Penyakit itu menular biasanya melalui air ludah yang meleleh karena si pasien biasanya tenggorokannya sakit untuk menelan, walaupun hanya ludah," katanya.

Menurut anggota ASAP Indonesia itu, air ludah yang meleleh, khususnya pada anak-anak itu biasanya kemudian dihapus dengan tangan atau terkena baju. Dari media itulah kemudian virus tersebut menular kepada orang lain.

Karena itu, katanya, untuk pencegahan penyakit tersebut, seseorang harus selalu menjaga kebersihan tangan dan mandi. Selain itu, anak-anak yang sudah terserang penyakit tersebut, sebaiknya tidak usah masuk sekolah dan dirawat di rumah sakit.

"Meskipun demikian, masyarakat Indonesia tidak perlu khawatir berlebihan terhadap penyakit itu karena sampai sekarang penyakit yang memang bisa menimbulkan kematian itu belum ditemukan di Indonesia," ujarnya.

Ia mengakui bahwa sesuai informasi yang diterima, penyakit tersebut menyebabkan kematian di Singapura, Hongkong dan China. Hal itu terjadi karena penyakit tersebut bisa menyerang otak kalau sudah masuk ke dalam darah dan tidak segera ditangani.

"Penyakit itu sampai sekarang belum ada obatnya. Yang ada selama ini hanya untuk meredakan sakitnya saja. Karena itu kita harus betul-betul menjaga kesehatan untuk pencegahan," ujarnya.(*)

Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009