Jakarta (ANTARA News) - Kejaksaan Agung (Kejagung) mengaku banyak menerima laporan praktik korupsi berupa suap dan pemerasan dalam penentuan suara calon legislatif (caleg) untuk lolos pemilihan legislatif pada penghitungan suara di tingkat Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dan KPUD.

"Modusnya dengan cara antara lain mengisi contrengan pada surat suara yang hanya mencontreng nama partai saja dengan menambahkan contrengan nama si caleg," kata Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus), Marwan Effendy, di Jakarta, Minggu.

Modus lainnya dengan cara mengalihkan surat suara rekan separtainya dengan nama diri si caleg sendiri, berikutnya dengan menyatakan sah dengan mengubah surat suara yang tidak sah dari partainya atau partai lain untuk diri si caleg bersangkutan.

Dikatakan, hal itu dilakukan si caleg dengan bekerjasama dengan PPK dan KPUD, yang tentunya dengan imbalan sejumlah uang,

"Karena itu, saya sudah menginstruksikan kepada Kajati (Kepala Kejaksaan Tinggi) dan Kajari (Kepala Kejaksaan Negeri) se-Indonesia untuk menindak tegas, jika ditemukan praktik-praktik kotor dan tidak terpuji berupa suap dan pemerasan yang dapat menodai pemilu yang luber tersebut," katanya.

Dikatakan, perbuatan tersebut merupakan tindak pidana korupsi, karena tidak diatur dalam delik pemilu.

"Pelakunya termasuk PPK dan KPUD bisa dijerat dengan delik korupsi, karena menurut UU Korupsi status PPK dan KPUD disamakan dengan pegawai negeri meski tidak diatur dalam UU," katanya.

Kendati demikian, ia mengakui masalah praktik suap dan pemerasan tersebut, tidak mudah untuk menemukan alat buktinya karena keduabelah pihak sepakat tidak mengaku.

"Kecuali kalau tertangkap tangan atau didapatkan transaksinya melalui transfer, jadi kalau laporan tersebut tidak didukung dengan alat bukti yang valid, dapat dipastikan pelakunya akan lolos," katanya.

Sebelumnya dilaporkan, Kejagung sampai sekarang sudah menerima sebanyak 352 kasus terkait tindak pidana pemilu.

"Perkara pidana pemilu sebanyak 352 kasus," kata Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum), Abdul Hakim Ritonga, di Jakarta, Jumat.

Menurut Jampidum, dari 352 kasus pidana pemilu itu, yang sudah masuk pra penuntutan sebanyak 186 kasus, penuntutan 57 kasus,dan sebanyak 109 kasus sudah putus. "Sisanya sebanyak 243 belum putus," katanya.

Dikatakan, paling banyak yang menjadi terpidana kasus pemilu tersebut, yakni, calon legislatif (caleg). (*)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009