Jakarta (ANTARA News) - Rohaniawan yang juga budayawan Yusuf Bilyarta Mangunwijaya melalui karya sastranya ingin menjadi guru bangsa dalam arti yang sebenarnya, kata dosen Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyakara, Mudji Sutrisno.

Mudji dalam diskusi sastra dan arsitektur mengenang 80 tahun Romo Mangunwijaya di Goethe-Institut Jakarta, Senin, mengungkapkan, Y.B. Mangunwijaya atau Romo Mangunwijaya memiliki tiga keprihatinan pokok dalam pemikiran religius keagamaannya.

Obsesi pertama, katanya, ingin menempatkan diri dalam praktik penghayatan kerohanian religius kristiani yaitu mengurbankan apa saja baik bakat anugerah maupun kemampuan yang dimilikinya untuk orang kecil.

"Mangunwijaya juga ingin menjadi guru bangsa yang sebenarnya, bukan penatar atau indoktrinator, tetapi guru kehidupan mulai dari anak-anak yang terlantar sampai ke lainnya," katanya.

Sebagai guru bangsa, katanya, Mangunwijaya melihat rumah bangsa sebagai sarang burung dalam karyanya "Burung-Burung Manyar". Rumah atau struktur bangsa ini jika perlu harus dirombak total setiap kali dengan revolusi untuk mendapatkan orang dan sistem kultur yang benar-benar merdeka dan demokratis.

Keprihatinan ketiga, katanya, YB Mangunwijaya ingin menunjukkan posisi dan sikapnya dalam sebuah futurisme.

Ia mendambakan futurisme baik sebagai kondisi struktural yang memekarkan anak-anak burung generasi baru maupun generasi itu sendiri yang tiap individu tidak tergantikan tetapi justru menjadi diri sendiri yang diperkaya profesi bakat dan kepekaan untuk mengangkat harkat sesama yang terlantar.

"Hal tersebut diwujudkan dalam visi futurisme `Burung-Burung Rantau`. Inilah generasi pascanasionalis, bahkan pasca-Indonesia yang diikat dengan satu perekat yang dianyam secara baru berupa persaudaraan lintas agama, suku, dan bangsa," katanya.

Seluruh keprihatinan tersebut, katanya, dihayati dan coba diwujudkannya dalam berbagai profesi. Sebagai guru bangsa, ia mengusahakan pendidikan kemerdekaan. Sebagai arsitek, berusaha memperbaiki tempat-tempat kumuh dengan kesadaran ekologis yang kuat dan sebagai sastrawan atau budayawan, ia selalu mengusahakan untuk merajut sistem makna memerdekakan orang.

YB Mangunwijaya lahir 6 Mei 1929 di Ambarawa, Jateng dan meninggal 10 Februari 1999 di Jakarta.(*)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009