Jakarta (ANTARA News) - Para penyelenggara jasa konten yang tergabung dalam IMOCA (Indonesia Mobile & Online Content Provider Association) akhirnya mengajukan judicial review terhadap PerMenKominfo No 01/PER/M.KOMINFO/01/2009 ke Mahkamah Agung.

Judicial review itu, kata kuasa hukum IMOCA, Andreas Tri Suwito Adi di Jakarta, Rabu, dilakukan karena IMOCA merasa bahwa permen yang dikeluarkan Menkominfo tidak sesuai dengan peraturan yang ada dalam usaha ini yaitu pengenaan biaya hak penyelenggaraan (BHP) jasa telekomunikasi terhadap penyelenggara jasa konten.

BHP selama ini dikenakan bagi perusahaan yang menyelenggarakan jasa telekomunikasi seperti operator seluler atau internet service provider (ISP) dan mendapat izin khusus dari Depkominfo (cq. Direktorat Jenderal Pos & Telekomunikasi).

Besaran BHP yang dikenakan, menurut peraturan pemerintah adalah 1% dari pendapatan kotor (gross revenue), dimana yang baru diubah menjadi 0.5%.

"Kami mengajukan judicial review atas nama klien kami para penyelenggara jasa konten, karena Permen 01/2009 tersebut mendefinisikannya sebagai penyelenggara telekomunikasi. Itu tidak tepat, sehingga cara yang ditempuh adalah judicial review," kata Andreas .

Permen tersebut dikeluarkan pada 8 Januari 2009 dan IMOCA sejak awal sudah berupaya melakukan koreksi dengan berdiskusi dengan pihak BRTI, Dirjen Postel, dan juga dengan Menkominfo di berbagai kesempatan. Namun, upaya tersebut tidak mendapatkan hasil. Oleh karena itu, IMOCA mengajukan somasi ke BRTI, Dirjen Postel, dan Menkominfo.

Namun, sampai dua kali somasi yang dilayangkan oleh IMOCA juga tidak mendapatkan hasil. Oleh karena itu, tidak ada langkah lain kecuali judicial review.

Selain mengenai BHP, sebenarnya para penyelenggara jasa konten juga keberatan dengan Permen yang mensyaratkan izin melalui BRTI.

"Ini jelas tidak sesuai dengan mekanisme. Tidak ada alasan bagi penyelenggara jasa konten harus minta izin ke BRTI. Karena bukan penyelenggara jasa telekomunikasi,` tambah Andreas.

Dijelaskan, sebenarnya penyelenggara jasa konten mobile itu dalam praktik bisnisnya tidak beda dengan rumah produksi. Penyedia konten tidak memiliki kapasitas serta kemampuan untuk menyampaikan konten ke user (pelanggan).

Penyedia konten menyampaikan konten yang dikehendaki pelanggan ke SMSC/Content Gateway operator melalui jaringan internet, koneksi kabel atau melalui CD.

Operator-lah yang notabene sebagai penyelenggara jasa telekomunikasi bertindak sebagai penyampai konten tersebut ke pelanggan. "Tanpa operator yang memiliki kapasitas, kemampuan serta jaringan telekomunikasi, konten tidak akan bisa sampai ke pelanggan," tegas Andreas.

Dalam Permen tersebut dijelaskan bahwa batas waktu untuk melakukan pendaftaran ke BRTI adalah pada 8 April 2009. Namun, setelah melakukan pertemuan antara IMOCA dengan Dirjen Postel Basuki Yusuf Iskandar dan anggota BRTI Heru Sutadi disepakati untuk diundur sebulan, sehingga batas akhirnya menjadi 8 Mei 2009.

Meski mendaftarkan judicial review, karena hal itu tidak secara otomatis menghentikan pelaksanaan Permen, maka dengan itikad baik para penyelenggara jasa konten akan melakukan pendaftaran kolektif pada 7 Mei. Pendaftaran dimaksud tidak berarti bahwa penyelenggara jasa konten mengakui Permen 01/2009 tapi karena juga belum ada keputusan yang berkekuatan hukum tetap.

Di beberapa kesempatan BRTI dan DitJen Postel menyatakan bahwa penolakan BHP oleh IMOCA sama saja ingin menghindari pajak. BHP bukanlah pajak, tapi PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak).

Pengaturan pengenaan BHP (yang pada hakekatnya adalah sebuah pungutan) kepada para penyedia konten melalui PerMenKominfo bertentangan dengan UUD`45 Pasal 23A: "Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang undang".

Dikatakannya, jika para penyedia konten tetap ingin dipaksakan untuk membayar BHP sedangkan itu tidak diatur oleh UU No. 36/1999, maka UU No. 36/1999 yang tidak bisa lagi mengakomodir perkembangan bisnis teknologi komunikasi dewasa ini haruslah direvisi atau diganti dengan UU yang baru, bukan oleh sebuah PerMen. (*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009