Jakarta (ANTARA News) - Warna dan jenis kemasan jajanan yang biasa dikonsumsi anak usia sekolah kerap memang menarik, tetapi orang kadang tidak tahu seperti apa kandungan gizi jajanan itu, bahkan banyak yang sebenarnya berbahaya untuk kesehatan anak.

Berdasarkan hasil survei Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pada 2007 terhadap 4.500 sekolah di Indonesia, 45 persen jajanan yang dijual di sekitar sekolah tercemar bahaya pangan mikrobiologis dan kimia.

Bahaya utama berasal dari cemaran fisik mikrobiologi dan kimia seperti pewarna tekstil, sedangkan jenis jajanan berbahaya bisa berbentuk makanan utama atau makanan dan minuman ringan.

Psikolog Universitas Indonesia, Mayke S. Tedjasaputra mengatakan, untuk mencegah anak terbiasa jajan, maka harus dimulai dari pola makan keluarga yang salah satu caranya dengan membuat "kudapan tandingan" yang tidak kalah enak dari jajanan.

Sebagai upaya preventif ini, anak harus dikenalkan pada pola makan sehat, namun orangtua harus mencontohi atau menjadi panutan anak untuk kebiasaan sehat ini.

"Tidak ada gunanya melarang anak jajan kalau orangtuanya sering jajan dengan alasan tidak sempat memasak karena sibuk," kata Mayke.

Sementara, sebagai upaya kuratif, orangtua harus menata kegiatan makan, membuat penganan bersama anak, dan memperkenalkan anak pada berbagai jenis makanan.

Menurut dia, orangtua harus berani bertindak tegas melarang anak yang suka jajan karena kebiasaan ini bisa berpengaruh pada pola makan anak.

"Orangtua harus bertindak tegas terhadap kebiasaan kurang baik itu. Bertindak tegas bukan berarti harus membentak atau lainnya. Cukup batasi saja anak untuk jajan," ujarnya.

Ia mengatakan, kebiasaan jajan dapat mengurangi nafsu makan anak di rumah, padahal makanan yang dibelinya belum tentu bergizi dan sehat.

Untuk mencegah kebiasaan itu, jangan biarkan anak meminta jajan, sekalipun mereka merengek-rengek memintanya. "Sampai menangis berguling-guling pun biarkan dia. Ini sebagai pembelajaran," katanya.

Namun, sesekali memang anak boleh diberi kesempatan untuk jajan, namun tetap harus diberi pengertian bahwa kebiasaan jajan tidak baik bagi kesehatan hidup mereka.

Orangtua juga perlu mengetahui bahwa kebiasaan jajan pada anak belum tentu karena mereka menginginkan jajanan, karena mereka kerap melakukan itu demi pengalaman menyenangkan, ekspresi perlawanannya terhadap orangtua, meniru dan menarik perhatian sang teman.

Salah satu upaya mencegah atau mengurangi kebiasaan anak jajan di sekolah adalah dengan membatasi pemberian uang jajan atau membuat ketentuan bahwa mereka hanya dibolehkan jajan pada waktu atau hari tertentu saja.

Sementara untuk mencegah anak mengonsumsi jajanan kurang sehat dan higienis, mengutip Spesialis Gizi Klinik Departeman Radioterapi Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM), Fiastuti Witjaksono, orangtua harus membiasakan anak untuk sarapan pagi.

Fiastuti melanjutkan, sarapan pagi sangat penting karena merupakan persiapan asupan energi untuk beraktifitas dan menyerap pelajaran di sekolah.

Bagi anak yang susah makan di rumah, demikian Fiastuti, orangtua harus bisa memberikan pengertian pada anak bahwa makanan itu memang demi kebutuhan tubuh si anak, bukan untuk memenuhi kepentingan orangtua.

Bergizi

Asupan nutrisi yang tepat akan membuat anak tumbuh optimal di mana setiap hari anak membutuhkan gizi seimbang berupa karbohidrat, lemak, protein, vitamin, dan mineral.

Asupan kandungan nutrisi itu harus mempertimbangkan porsi atau variasi makanan yang dikonsumsi. Konsumsi lemak misalnya, mencapai 30 persen dari total energi setiap hari dan diperlukan untuk menyerap vitamin penting seperti A, D, E, dan K secara maksimal.

"Masalah gizi anak sebaiknya mendapatkan perhatian khusus, mengingat orangtua masih sering salah paham mengenai hal ini," kata Fiastuti.

Ia menyebutkan tiga masalah gizi, yakni kurang gizi, kelebihan gizi, dan salah gizi yang masing-masing memiliki indikasi dan akibat yang berbeda.

Untuk menghindarinya, perlu komposisi seimbang antara karbohidrat (45-65 persen), protein (10-25 persen), lemak sedikitnya 30 persen, dan bermacam vitamin lain yang mutlak diberikan kepada anak agar pertumbuhannya optimal.  Jika tidak seimbang, maka anak berada dalam risiko besar.

Bayangkan saja, berdasarkan Data Departemen Kesehatan tahun 2007, dari 4,1 juta balita yang mengalami malnutrisi, 82 persen diantaranya mengalami kurang gizi dan 18 persen berisiko gizi buruk.

Fiastuti mengatakan, perencanaan makan yang cerdas oleh orangtua akan menciptakan pola makan yang sehat, terkontrol, dan menyenangkan.

Kuncinya terletak pada jumlah kalori sesuai kebutuhan, jadwal makan teratur, dan jenis makanan dengan komposisi karbohidrat, protein, dan lemak seimbang, di samping nutrien spesifik yang terpenuhi.

Dia mengingatkan, kekurangan gizi pada anak akan berpengaruh pada pertumbuhan fisik, perkembangan otak, perkembangan kepandaian, dan kematangan sosial.

Disamping perlu memperhatikan soal di atas, orangtua perlu mengetahui berapa derajat kebutuhan kalori anak.

Menurut teori kesehatan, anak usia satu hingga tiga tahun membutuhkan 1.300 kalori per hari, usia empat hingga enam tahun membutuhkan 1.800 kalori per hari, dan umur tujuh hingga 10 tahun membutuhkan 2.000 kalori per hari.

"Anak harus dibiasakan makan tiga kali sehari dan ditambah makanan kecil untuk memenuhi kebutuhan kalori tersebut," jelas Fiastuti.  (*)

Oleh Oleh Heru Suyitno
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2009