Jakarta (ANTARA News) - Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) mengungkapkan, semburan lumpur di Sidoarjo, Jatim yang keluar sejak tiga tahun lalu, sudah sulit dihentikan.

Wakil Kepala BPLS Hardy Prasetyo saat dihubungi di Jakarta, Senin mengatakan, pihaknya kini fokus mengatasi luapan lumpur yang keluar di permukaan, ketimbang mencari cara menghentikan semburan.

"Sejak tiga tahun lalu, volume semburan lumpur yang keluar masih sekitar 90.000 m3 dengan suhu 80-90 derajat Celcius. Jadi, sudah tidak ada lagi cara yang efektif untuk menghentikan semburan lumpur," katanya.

Menurut dia, semburan lumpur sudah dalam tahap pembentukan kaldera dengan proses deformasi yang berlangsung cepat hingga pernah mencapai empat meter per hari.

Hardy menambahkan, pihaknya kini hanya fokus menjaga semburan lumpur tidak keluar dari peta terdampak, memompa lumpur ke Kali Porong, normalisasi Kali Porong hingga ke muara, menempatkan empat kapal keruk di muara, dan menanam tanaman bakau.

Sejumlah upaya menghentikan semburan yang pernah dilakukan antara lain pengeboran miring (relief well) dan bola beton. Namun, semua tidak membuahkan hasil, kendati telah menghabiskan dana triliunan rupiah.

Sebelumnya, pakar geologi dari Universitas Trisakti, Agus Guntoro mengatakan, semburan lumpur Sidoarjo merupakan fenomena alam, sehingga sulit dihentikan.

"Kalau terkait pengeboran tentunya hanya sebentar," katanya.

Agus bahkan memperkirakan, semburan seperti halnya magma panas bumi yang bisa berlangsung puluhan bahkan ratusan tahun.

Lumpur Sidoarjo menyembur pertama kalinya di Desa Siring, Porong, Sidoarjo, Jatim pada 26 Mei 2006 berjarak 200 meter dari lokasi pengeboran sumur Lapindo Brantas Inc di Desa Renokenongo.

Kejaksaaan Agung juga menyatakan tidak melanjutkan kasus semburan lumpur Sidoarjo karena adanya perbedaan keterangan saksi ahli menyangkut penyebab semburan tersebut.

Sebanyak sembilan ahli menyatakan tidak terkait pengeboran, namun karena fenomena alam.

Alasannya, pusat semburan berjarak 200 meter dari titik pengeboran dan diduga dipicu gempa teknonik di Yogyakarta 27 Mei 2006.

Sedang, tiga ahli lainnya menyatakan semburan akibat pengeboran. (*)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009