Ambon (ANTARA News) - Wakil Ketua DPRD Kota Batam, Chabullah Wibisono, menegaskan, sistem perekonomian di Batam lebih bersifat kapitalistik karena warga yang memiliki modal besar saja yang makmur.

"Sistem ekonomi di Batam bersifat kapitalis, yang kaya makin kaya, yang miskin tetap miskin. Perbedaan investasinya mencolok," kata Chabullah, di Ambon, Kamis.

Chabullah Wibisono berada di Ambon bersama Tim Komisis IV DPRD Kota Batam sejak 19 Mei, untuk melakukan kunjungan kerja sekaligus mempelajari ingin tentang cara peningkatan kesejahteraan yang berbasis masyarakat di pemerintah Kota (Pemkot) Ambon.

Dipilihnya Kota Ambon sebagai wilayah studi banding, karena mendapat informasi informasi bahwa pertumbuhan ekonomi di ibukota provinsi Maluku itu pasca konflik sosial sejak 1999 sangat tinggi, sehingga mendorong keinginan DPRD Batam untuk mempelajarinya.

"Kami ingin mempelajari motivasi serta sistem kerja yang dipakai Pemkot Ambon sebagai stimulus untuk peningkatan kesehjateraan warganya dengan menjadikan masyarakat sebagai basis utama," kata Chabullah.

Chabullah mengakui, pertumbuhan ekonomi di Batam juga sangat tinggi karena dipengaruhi sektor industri, pariwisata dan jasa yang berkembang pesat, tetapi sistem ekonomi di Batam lebih bersifat kapitalistik karena yang punya modal atau kemampuan investasi saja yang makmur.

"Akibatnya, terjadi kesenjangan ekonomi yang tinggi karena warga asli makin tertinggal dari pendatang. Apalagi tingkat konsumtif warga Batam juga cukup besar," ujarnya.

Tetapi, menurut Chabullah, hal tersebut berbeda dengan di Ambon, karena dari informasi yang diperoleh pertumbuhan ekonomi di Ambon lebih dipacu oleh ekonomi kerakyatan, seperti "home industry", agro bisnis serta jasa masyarakat. "Ini yang membuat kami tertarik mempelajarinya, sehingga bisa dikembangkan di Batam," katanya.

Ia mengakui, sebetulnya di Ambon bisa lebih sejahtera dari Batam karena punya gunung dan tanah yang subur. "Sayangnya biaya hidup di Ambon, tinggi," kata Chabullah.


Jasa Restoran

Wakil Wali Kota Ambon, Olivia Latuconsina, secara terpisah menjelaskan, percepatan pertumbuhan ekonomi di Ambon cukup pesat, apalagi pada sektor jasa. "PAD kota Ambon terbesar dari usaha jasa restoran," ujarnya.

Namun, hal ini juga menimbulkan dilema karena kondisi geografis kota Ambon 70 persen terdiri dari perbukitan membuat aktivitas ekonomi berpusat di pusat kota, sehingga menjadi padat.

Oleh karena itu, Pemkot Ambon saat ini sementara membangun sentra ekonomi baru di daerah pinggiran kota yakni di Desa Passo, Kecamatan Baguala. Kawasan ini direncanakan menjadi kota Ambon Orde Kedua. "Jika aktivitas ekonomi dapat dialihkan ke pinggiran kota, kami berharap kepadatan di pusat kota dapat teratasi," kata Latuconsina.

Ia juga mengakui, warga kota Ambon tidak terlalu konsumtif karena belum memiliki mall yang besar seperti di kota-kota lain. Pusat perbelanjaan yang tersedia hanyalah untuk kelas ekonomi menengah ke bawah dan selain itu, biaya hidup di Ambon cukup tinggi.

"Ikannya memang murah, tetapi sayur, telur, daging dan bahan pokok lainnya cukup mahal karena harus didatangkan dari daerah lain," katanya.

Pemerintah Kota Ambon juga sementara menyusun rencana pengembangan Teluk Ambon menjadi kawasan ekonomi dan pariwisata.

Namun, upaya-upaya peningkatan kesehjateraan masyarakat tidak hanya dipengaruhi oleh faktor ekonomi, tetapi harus didukung juga kemampuan masyarakat dalam mendapatkan pelayanan kesehatan dan pendidikan secara baik.

"Untuk memacu peningkatan kesehjateraan masyarakat, Pemkot Ambon menyediakan layanan kesehatan gratis bagi warganya di Puskesmas, dan sejak dua tahun lalu kami juga sudah melaksanakan program wajib belajar sembilan tahun bagi semua anak usia sekolah di kota ini," tandas Latuconsina.(*)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009