Jakarta (ANTARA News) - Calon presiden (Capres) Megawati Soekarnoputri menyerukan perlunya perlindungan terhadap karya seni dan kebudayaan Indonesia, terutama berkaitan dengan hak kekayaan intelektual (HAKI).

"Arus global yang masuk dewasa ini begitu deras, kalau kita tidak menjaga kebudayaan sendiri, mungkin suatu saat kita akan terpuruk," kata Megawati saat berdialog dengan budayawan di Gedung Kesenian Jakarta, Pasar Baru, Jakarta, Minggu.

Dalam dialog yang bertema "Kebudayaan dan Presiden" itu, Megawati juga menyerukan keprihatinan bahwa bangsa Indonesia masih lemah dalam perlindungan hasil budaya maupun karya seni dan sastra.

Megawati menilai para seniman adalah insan yang kreatif dan bebas dalam berekspresi dengan karyanya. Namun yang disayangkan, kata dia para pelaku seni tersebut tidak mempedulikan hak kekayaan intelektual mereka.

"Sekarang ini terlihat jelas, telah terjadi pertarungan kebudayaan yaitu dengan diperjualbelikannya karya seni tanpa adanya hak paten," ujar Megawati yang didampingi cawapres Prabowo Subianto.

Capres yang juga Ketua Umum PDI Perjuangan itu mengatakan bahwa bangsa Indonesia sebenarnya mempunyai modal yang menguntungkan untuk mengembangkan kebudayaan.

Modal yang dimaksud antara lain, wilayah yang strategis, beragamnya budaya lokal, bermacam-macam suku dan agama.

"Seharusnya Indonesia merasa bangga atas keanekaragaman itu," ujar Megawati.

Ia mengatakan Undang-undang mengenai hak kekayaan intelektual (HAKI) yang dibuat semasa pemerintahannya harus ditindaklanjuti.

Sehubungan dengan hal itu, Megawati juga menyinggung tentang "Trisakti" yang diserukan Presiden I RI, Soekarno, yaitu kekuatan politik, kekuatan ekonomi, serta berkepribadian di bidang kebudayaan.

"Pengaruh kebudayaan dari bangsa lain sangat kuat, dengan demikian kita harus mempunyai kepribadian kebudayaan agar tidak dikuasai orang lain," kata Megawati.

Menurut Megawati, saat ini diperlukan adanya perlindungan yang mengikat terhadap seni, budaya dan sastra Indonesia sehingga hasil karya seniman Indonesia tidak begitu saja diklaim pihak lain. (*)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009