Yogyakarta (ANTARA News) - Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia-Pasifik yang tidak menandatangani "Framework Convention on Tobacco Control" (FCTC) atau konvensi pengendalian tembakau yang telah ditandatangani oleh 160 negara.

Konvensi tersebut mengharuskan suatu negara untuk membatasi dan mengurangi produksi rokok, menghapus iklan rokok, menyertakan gambar peringatan pada setiap bungkus rokok yang dijual, melarang penjualan rokok secara eceran, melarang anak-anak membeli rokok, menaikkan pajak rokok dan menerapkan kawasan bebas rokok.

"Negara di Asia Tenggara seperti Thailand, Filipina, dan Malaysia sudah menandatangani konvensi tersebut meski memerlukan perjuangan untuk merealisasikannya," kata peneliti Pusat Kajian Bioetika dan Humaniora Universitas Gadjah Mada (UGM), Yayi Suryo Prabandani, dalam kegiatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia yang diperingati sertiap 31 Mei.

Ia menyatakan, beberapa produk rokok dalam negeri yang dijual di negara tetangga seperti Thailand, Malaysia atau Amerika Serikat (AS) telah menyertakan gambar peringatan bahaya merokok di bungkusnya.

"Di Indonesia, aturan mengenai gambar bahaya merokok di bungkus rokok belum ada, tetapi baru sebatas tulisan peringatan saja," katanya.

Sementara itu, Direktur Pusat Kajian Bioetika dan Humaniora, Soenarto Sastrowijoyo menyatakan, kebijakan promosi kesehatan dari pemerintah berjalan lamban.

"Pemerintah dan juga DPR seolah tidak ingin membatasi produksi rokok dan melakukan kampanye anti rokok," katanya.

Besarnya dana yang masuk ke pemerintah dari produksi rokok, katanya, membuat pemerintah seakan enggan membatasi produksi rokok dalam negeri.

Dana yang masuk ke pemerintah dari para produsen rokok diperkirakan mencapai Rp38 triliun per tahun atau hampir 10 persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).

Pajak yang dikenakan kepada produsen rokok juga tergolong rendah yaitu 34 persen, jauh berbeda dengan besaran pajak di Thailand yang telah mencapai 70 persen. (*)

Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009