Jakarta (ANTARA News) - Untuk sementara eforia dan pesta kemenangan warga Katalunya harus dihentikan. Pasalnya kampiun Eropa yang baru, FC Barcelona, wajib menunaikan laga terakhir kompetisi La Liga Primera melawan Deportivo La Coruna, Minggu dinihari (31/5) di Estadio Riazor. Jadwal penghujung liga berlangsung justru di saat Barca telah memastikan tiga gelar dalam genggaman, termasuk juara liga utama Spanyol tersebut.

Inilah pekan paling indah bagi Barca yang telah menorehkan momentum bersejarah di mana mereka memperlihatkan supremasi tim yang luar biasa. Bukan hanya di tanah Spanyol, tapi juga di seluruh daratan Eropa yang begitu ketat persaingan tim sepakbolanya. Anak-anak Catalan ini juga membuktikan bahwa mereka mampu menerobos dominasi sepakbola Inggris yang mengirim 3 wakil terkuat mereka dalam semifinal Liga Champions.

England rules the waves bukan lagi milik Inggris yang mendominasi final Champions, setidaknya dalam 5 tahun belakangan ini. Gelombang itu sekarang menjadi milik Los Azulgrana, kesebelasan kebanggaan bangsa Katalan, yang merebutnya dengan gemilang secara telak dari Manchester United yang datang dari kerajaan Inggris Raya.

Kesuksesan anak-anak Pep Guardiola seperti melanjutkan dominasi arus besar yang juga telah ditorehkan kesebelasan nasional Spanyol sebagai juara antar negara Eropa setahun silam. Kerja keras yang membuat sejarah wajib dirayakan. Apalagi bangsa Katalan adalah penggemar pesta yang mengerti sepenuhnya bagaimana merayakan kemenangan.

Kota Barcelona yang indah dan seksi itu langsung sumringah dalam tetabuhan dan hiruk pikuk penyambutan, sejak rombongan pahlawan Catalan yang dipimpin Pep Guardiola dan Carles Puyol itu membawa trofi Champions menuruni tangga jet carteran yang membawa mereka dari bandara Fiumicino, Roma. Dari bandara El Prat Barcelona lautan manusia sudah menyemut untuk menyampaikan penghormatan secara langsung.

Dari atas dek bus yang membawa sekaligus tiga trofi: Copa Del Rei, piala La liga dan tentu Piala Champions yang baru mereka rebut dari juara bertahan Manchester United pada malam sebelumnya, seluruh pemain dan kru FC Barcelona mengenakan kaos polo biru tua bertuliskan Copa, Liga y Champions di punggung dan nama seluruh pemain di bawahnya.

Malam hari keriaan berlanjut di markas besar kesebelasan paling atraktif di muka bumi saat ini, Nou Camp. Sebentar lagi pesta kemenangan akan disambung hingga larut malam di stadion terbesar di seluruh Eropa itu. Siapun warga Barcelona boleh ikut serta. Menyantap berbagai hidangan sambil menenggak anggur Barcelona yang terkenal itu sekaligus menikmati pesta atraksi kembang api. Di layar raksasa stadion paling megah di Eropa itu terlihat sekali dua adegan-adegan penting dalam laga final Liga Champions 2009.

Sesungguhnya tak ada "Clash of the Titans" pada malam final itu, seperti yang didengang-dengungkan pers global sebelum pertandingan. Final impian sepertinya bakal jadi kenyataan pada tujuh menit pertama, saat United mengambil inisiatif penyerangan yang menghasilkan tendangan bebas yang nyaris membuahkan gol jika saja Victor Valdez, kiper bertubuh kecil untuk ukuran penjaga gawang itu, gagal menepis tendangan Cristiano Ronaldo.

Pemain belakang Barca terlihat tegang sampai pada menit ke sepuluh. Hingga saat suatu fast-break, gelandang mobil Andres Iniesta yang sebelumnya diberitakan cedera, berhasil mengirim umpan silang kepada Samuel Etoo di jantung kiri pertahanan United. Dalam kawalan ketat Nemenja Vidic dan Michael Carrick, penyerang asal Kamerun itu masih bisa mengirim tendangan maut ke tiang dekat yang tak mampu dihadang Van der Sar.

Setelah itu, Dewi Fortuna seperti tak lagi berdiri menjaga peruntungan United. Detik-detik selanjutnya adalah neraka bagi kesebelasan yang dijuluki setan merah itu, apalagi bagi para pemain belakangnya. Beruntung masih ada Van der Sar yang bermain gemilang. Malam itu Barca mengajari bagaimana ideologi sepakbola menyerang yang cerdas dan atraktif itu dimainkan.

Pertahanan terbaik adalah menyerang. Anak-anak Barca malah terus meningkatkan gelombang serangan meskipun telah unggul satu gol.

Konfirmasi tumbangnya United datang pada menit ke 70, saat si kancil Lionel Messi berhasil menyundul lob brilian Xavi Hernandes yang melambung melewati Van der Sar, salah satu kiper tertinggi di liga primer, yang termangu karena kadung salah posisi. Final impian itu, sesungguhnya telah berakhir di sana. Penonton seolah hanya menanti wasit Massimo Busacca meniupkan peluit panjangnya.

Kegemilangan Barca, setidaknya menghapus ”dosa” wasit Tom Ovrebo yang berandil ”mengirim” Barca ke final. Suatu final yang menjadi antiklimaks bagi United.

Bek kiri United, Patrice Evra dengan jumawa menggambarkan kehancuran Arsenal pada semifinal kedua sebagai laga sebelas anak kecil melawan sebelas orang dewasa! Lapangan final Champions kemudian memberinya pelajaran betapa ucapan seorang atlet besar harus dilakukan dengan rendah hati.

Bayangkan, melawan tiga ”bayi” Barcelona saja (Messi-Xavi-Iniesta), mereka, para pria dewasa dari klub terkaya sedunia itu tak sanggup berbuat apa-apa.

Sepakbola memang cuma satu permainan. It’s only a game. Namun dia juga adalah cermin peradaban. Sebagai cabang olahraga paling populer sejagad, sepakbola identik dengan permainan rakyat. Di dalamnya terkandung filosofi persahabatan, persaingan sehat, egaliter dan yang terpenting adalah sportivitas. Jiwa ksatria lahir dari olahraga, dari sana lahir apresiasi yang menghormati sepenuhnya mereka, anak manusia, yang menang dan yang kalah.

Semangat sportivitas berujung pada kesetaraan yang memandang sama pada semua orang. Sebagai agama kedua di tanah Spanyol, sepakbola – seperti juga di tanah Inggris – memiliki katedralnya sendiri. Namanya stadion Nou Camp. ”Katedral” termegah di seluruh daratan Eropa. Lapangan hijau adalah altarnya.

Pelatih Barca, Pep Guardiola, adalah buahnya. Bumiputra Katalunya ini adalah gelandang terbaik Katalan pada jamannya. Dia dengan simpatik mendedikasikan trofi Champions untuk kesetiaan Paolo Maldini, bek legendaris AC Milan dan timnas Italia, yang pekan sebelumnya mundur dari pentas sepakbola dan mendapat hinaan dari para Milanista ektrem di penghujung pertandingan yang dilanjutkan dengan selebrasi perpisahan.

Pesta tampaknya segera berlanjut. Di Estadio Riazor, Minggu dinihari, tuan rumah Deportivo La Coruna akhirnya harus puas bermain imbang melawan tamunya, FC Barcelona, yang turun dengan mayoritas pemain inti. Meskipun pertandingan itu sudah tak berarti lagi, namun kompetisi, penonton dan pencinta sepakbola harus dihormati dengan ketulusan bermain. (*)

Pewarta: Oscar Motuloh
Editor: Anton Santoso
Copyright © ANTARA 2009