Bogor (ANTARA News) - Survei-survei tingkat keterpilihan calon presiden (capres) hanya bertujuan menggiring opini publik untuk memenangkan capres tertentu sehingga masyarakat seharusya tidak boleh terpengaruh oleh hasil survei itu, demikian seorang pakar statistik, Senin.

"Survei-survei yang banyak bermunculan saat ini hanya bertujuan untuk memenangkan capres atau parpol tertentu, bukan untuk mengungkap kebenaran," kata Dr. Asep Saefuddin, pakar statistik dari Institut Pertanian Bogor, Senin.

Namun, survei-survei semacam ini belum termasuk kategori kebohongan publik karena harus mengkaji  lebih jauh metodologi survei tersebut.

Asep menilai, jika hasil survei dua lembaga berbeda menunjukkan angka yang jauh berbeda satu sama lain, maka masyarakat wajib meragukannya karena jika survei dilakukan dengan metode yang benar, maka hasilnya pasti tidak akan jauh berbeda.

Hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) tingkat keterpilihan pasangan SBY-Boediono mencapai 71 persen, disusul Megawati-Prabowo 16,4 persen dan JK-Wiranto enam persen.

Sebaliknya Lembaga Riset Informasi (LRI) menyebut pasangan SBY-Boediono berada di urutan pertama dengan 33,02 persen, sementara pasangan JK-Wiranto 29,29 persen, Megawati-Prabowo 20,09 persen dan sisanya responden belum memutuskan pilihan.

"Dalam pandangan kami, kalau lembaga survei itu milik parpol, maka secara kelembagaan akan mendukung partai yang bersangkutan," kata Asep.

Faktanya, LSI memang mengakui surveinya dibiayai Fox Indonesia yang merupakan konsultan kampanye pasangan SBY-Boediono, sedangkan LRI ditengarai dibiayai oleh tim sukses JK-Win.

Sementara itu, Ketua Departemen Statistik FMIPA IPB, Hari Wijayanto mengatakan, masyarakat perlu mengenal lembaga yang melaksanakan survei, penyandang dana, dan bagaimana survei dilakukan.

"Lembaga pelaksana yang independen biasanya memberikan hasil yang obyektif dengan tingkat kebenaran tinggi. Demikian juga survei yang dilakukan dengan baik akan menghasilkan kualitas data tinggi," katanya.

Menurut dia, kesalahan survei pada dasarnya adalah kesalahan sampel dan non-sampel, namun belakang pada kebanyakan kasus di Indonesia terjadi kesalahan non-sampel seperti ketidaktepatan dalam menentukan populasi sasaran.

"Pengambilan sampel yang hanya di Jawa saja misalnya, akan membuat bias hasil survei," kata Hari. (*)

Pewarta:
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2009