Barangkali tugas presiden Indonesia tak lebih mudah daripada tugas Obama. Obama berada dalam sistem yang sudah mapan, yang dibangun sejak dua ratus silam. Ibarat mobil, teknologinya sudah canggih. Sementara sistem di negara kita masih belum mapan. Tatkala sistem belum mapan, peran seorang pemimpin menjadi sangat dominan.

Kemampuan untuk memimpin pemimpin yang lain, leading others to lead, menjadi sangat penting. Pantaslah jika Pilpres mendatang seharusnya mencari seorang superleader. Superleader bukanlah seorang superman, tetapi pemimpin yang memimpin pemimpin lainnya.

Terminologi superleader dalam tulisan ini digunakan untuk para pemimpin yang dalam lingkup kerjanya memimpin sebuah organisasi yang besar yang didalamnya terdapat pemimpin lain, contoh Presiden di suatu Negara yang dalam kabinetnya akan memiliki banyak menteri, menteri dalam negeri ini akan membawa sejumlah besar gubernur dimana masing-masing gubernur dalam jajarannya akan memimpin para bupati dan atau para walikota dan seterusnya.

Superleader tidak harus menjadi superstar, apalagi terjebak ke dalam situasi narsistik. Ia dan pengikutnya terlampau memuja dirinya, sehingga akan menghabiskan sebagian besar waktunya untuk menampilkan diri sendiri.

Dalam tulisan ini penulis akan mengutarakan karakteristik seorang superleader yang dapat memimpin bangsa ini secara efektif. Barangkali memang terlalu ideal, tetapi pembaca dapat mencari diantara ketiga capres yang paling mendekati karakteristik tersebut menurut persepsi masing-masing, karena tulisan ini mencoba menjaga jarak dengan masing-masing capres untuk menjaga obyektifitas.

Karakteristik Superleader

Capres, sebagai seorang superleader harus memiliki visi jelas, dan sekaligus pandai membagi visinya dengan para pemimpin di bawahnya, sehingga visi tersebut dimiliki secara bersama. Ia juga harus berupaya agar visi tersebut menjadi unifying focal point, yakni titik fokus yang mempersatukan seluruh bangsa Indonesia.

Seorang superleader dinilai membuat pencapaian besar hanya apabila pemimpin di bawahnya terdiri dari para pengikut yang memiliki kemampuan dan kemauan. Berarti para pemimpin di bawahnya bukan hanya harus menjadi pengikut yang baik, tetapi juga harus cakap dan mau bekerja demi mencapai tujuan yang dicanangkan sang pemimpin besar.

Dengan sendirinya seorang superleader harus mempunyai kemampuan mendelegasikan, memotivasi, serta mendidik para pengikutnya untuk berorientasi pada hasil tanpa mengabaikan proses, yang disempurnakan secara berkesinambungan.

Sangat penting bagi seorang superleader dikelilingi orang-orang loyal dan mempunyai integritas. Meski demikian, jangan sampai lingkungan kecil di sekitarnya menutup akses bagi “orang luar” untuk dapat menyampaikan informasi. Atau keinginan sang pemimpin dari waktu ke waktu untuk mempunyai jalur langsung kepada sumber primer atau pendapat ahli dihalang-halangi oleh inner circle.

Kalau hal ini sampai terjadi maka sang superleader mengalami mati suri dan dapat kehilangan obyektifitasnya dalam membuat keputusan. Oleh karena itu, penting artinya untuk memilih pemimpin yang mempunyai nilai-nilai keutamaan.

Di samping memilih dan membesarkan bibit unggul untuk dijadikan pemimpin, seorang superleader harus memiliki kemampuan dan keterampilan mendelegasikan dan memotivasi. Dalam hal pendelegasian, pemimpin harus pandai untuk secara psikologis menjual idenya di dalam semangat dan urutan berpikir “It is my Problem” menjadi “It is our Problem”, untuk kemudian bergeser menjadi “Now it is your Problem“.

Superleader acap kali juga berhadapan dengan pengikut yang secara terang-terangan tidak mau mengikuti atau bahkan melawan dirinya. Hal ini terjadi misalnya karena alasan aktualisasi diri ataupun dorongan arus bawah untuk menonjolkan diri guna tampil sebagai penantang sang pemimpin besar (superleader).

Menghadapi situasi ini, seorang superleader diharapkan bertindak tegas dan cepat namun terbatas pada persoalan yang relevan semata. Tidak boleh merambat kepada persoalan lain, mengungkit-ungkit isu yang telah lampau, serta menegur/mengancam yang sifatnya pribadi.

Misalnya pada saat terjadi krisis ekonomi di kawasan Asia tahun 1997-1998, Mahathir Muhammad, Perdana Menteri (PM) Malaysia pada waktu itu menolak rancangan usulan yang diajukan IMF untuk mengatasi krisis.

Mahathir berpendapat bahwa bangsanya sendirilah yang paling mengetahui situasi dan kondisi yang sebenarnya dari negaranya. Dengan dukungan para ahli di dalam negeri yang telah menikmati pendidikan terbaik di mancanegara serta masukan para ahli terkemuka dari berbagai belahan dunia, diharapkan Malaysia akan menemukan solusi terbaik untuk dirinya sendiri.

Kenyataannya, Malaysia dapat keluar dari krisis lebih cepat ketimbang negara-negara yang memperoleh bantuan dari IMF.

Pendekatan ini ia tekankan kembali sebagai bagian dari legacy yang ditinggalkannya pada waktu pidato perpisahannya sebagai perdana menteri. Pendekatan yang dikenal dengan Look East Policy ini pada intinya mengajarkan dua hal. Pertama, kita harus mempunyai orang-orang sendiri yang pernah menimba ilmu dari dunia model, sehingga menjadi ahli di bidangnya masing-masing.

Yang kedua, negara-negara maju akan selalu menawarkan kerangka pemikiran dan teori-teori baru. Meski demikian, kita tidak boleh begitu saja meniru, menjiplak dan menerapkan mentah-mentah pendekatan yang ditawarkan karena situasi dan kondisi yang dihadapi berbeda. Memang benar sekarang ini ada beberapa negara yang sudah lebih maju dan seringkali mengeluarkan aneka pola pikir yang “dijual” ke seluruh dunia.

Tetapi sebagai seorang yang arif, superleader harus bertanya apakah konsep tersebut sesuai dengan budaya dan kepribadian pengikut-pengikutnya.

Superleader tentunya akan lebih sering dihadapkan pada persoalan-persoalan yang bersifat strategis daripada operasional. Seorang pemimpin strategis berani menyerahkan kepemimpinan yang lebih operasional kepada para pemimpin di bawah naungannya. Berarti kepemimpinan dan keputusan-keputusan bidang operasional harus selalu mendukung dan sejalan dengan keputusan-keputusan strategis yang dibuat.

Keputusan-keputusan bidang operasional sama sekali tidak boleh bersifat in-different terhadap keputusan strategis, apalagi bersikap berlawanan atau bahkan menghambat.

Acap kali seorang superleader harus melakukan program perubahan, sehingga harus mempunyai keberanian dan ketrampilan untuk memimpin perubahan. Keberanian untuk melangkah ke suatu terra incognito, wilayah yang belum dikenal. Ia belum mengetahui reaksi dari para pengikut dan anak buahnya terhadap perubahan yang dicanangkan, serta dampak dari reaksi itu.

Di sisi lain seorang superleader harus pandai menyampaikan pesan, serta memanfaatkan dan memelihara momentum perubahan tersebut, agar perubahan-perubahan berjalan dengan kecepatan yang diinginkan. Ia juga harus menjaga agar organisasi berubah bukan agar sekedar untuk berubah, tetapi berubah sesuai dengan rencana yang telah dicanangkan. Menegakkan semangat managing planned changes, mengelola perubahan yang telah direncanakan sebelumnya.


Sikap Positif dan Apresiatif

Di samping memiliki cakrawala pengetahuan yang luas, seorang superleader harus mau mengambil peran sebagai seorang king maker, dalam arti “You can make or break a person”. Seorang superleader bukan hanya harus mampu melihat pemilik talenta yang potensial untuk terus dikembangkan, tetapi juga wajib mempromosikan yang bersangkutan untuk jabatan yang sesuai dengan kemampuannya.

Tentu dengan memberikan kesempatan mengikuti pelatihan yang diperlukan dan menimba pengalaman disertai dengan upaya-upaya pemberdayaan yang lain. Di sisi lain superleader perlu juga menjaga agar talenta dengan integritas yang kurang (walaupun cakap secara teknis dan konseptual) dan mereka yang tidak berpotensi (walaupun pandai menyenangkan atasan) tidak diberi kesempatan memegang jabatan dan tanggungjawab yang tinggi.

Seorang superleader berupaya menciptakan keselarasan dari kekuatan-kekuatan yang ada, sehingga kekurangan-kekurangan yang ada menjadi tidak relevan. Cara terbaik untuk memanfaatkan kekuatan adalah dengan mengapresiasi apa yang dimiliki, dalam kepemimpinan yang apresiatif.

Dalam kepemimpinan apresiatif, pemimpin menginginkan pengikutnya terinspirasi dan terlibat. Superleader menyadari bahwa pengikut akan melakukan yang terbaik manakala mereka bekerja berdasarkan inspirasi sebagai hasil dari perhatian yang diberikan secara berkesinambungan terhadap kekuatan serta kesuksesan yang diraih.
Hal ini berkebalikan dengan pemimpin yang hanya berfokus pada pencarian kesalahan dan masalah, sehingga secara tidak sadar mereka mematikan semangat serta mengabaikan kekuatan yang dimiliki dan kesuksesan yang pernah dialami, yang menyebabkan para pengikutnya menjadi enggan untuk terlibat lebih dalam pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan.

Superleader yang apresiatif memahami pentingnya menjaga agar tetap mengingat praktik-praktik terbaik dan kapabilitas inti yang dimiliki bangsa. Mereka memanfaatkan waktunya untuk berbicara dengan rakyatnya mengenai impian, serta kekuatan yang dimiliki, sehingga mereka merasakan adanya semacam energi baru, serta lebih merasa percaya diri dalam jangka waktu yang lebih lama.

Pemimpin yang apresiatif lebih tertarik kepada kemungkinan-kemungkinan (possibilities) ketimbang solusi. Mereka memiliki rasa ingin tahu sangat besar, menanyakan hal-hal apa saja yang bernilai, serta apa yang dapat dipelajari dari hal-hal tersebut. Mereka mengetahui saat-saat anak buahnya mengerjakan pekerjaan terbaik, memberi perhatian terhadap hal-hal yang telah berjalan dengan baik, serta memberikan suaranya terhadap aspirasi tertinggi organisasi.

Mereka mendedikasikan dirinya guna membangun kepercayaan diri dan kekuatan para bawahannya. Keberhasilan mereka terletak pada kemampuannya menciptakan kondisi yang mendorong berkembangnya kreativitas, ketangkasan (agility), dan kolaborasi.

Apakah yang diharapkan pengikut (follower) terhadap pemimpinnya? Hasil studi Gallup yang melibatkan 10.000 pengikut (follower) terlihat bahwa para pengikut ini memiliki gambaran jelas mengenai hal-hal yang mereka inginkan dan butuhkan dari pemimpin-pemimpin yang paling besar pengaruhnya bagi kehidupan mereka, yakni kepercayaan (trust), compassion, stabilitas, dan harapan.

Seorang pengikut tidak akan mentolerir ketidakjujuran. Kepercayaan adalah fondasi paling dasar dalam kepemimpinan. Hasil studi juga menyebutkan kejujuran, integritas, dan rasa hormat sebagai kontribusi terpenting dari seorang pemimpin dalam kehidupan pengikutnya. Penghormatan, integritas, dan kejujuran merupakan hasil dari hubungan erat yang didasarkan atas kepercayaan.

Superleader harus menunjukkan compassion yang tulus bagi para pengikutnya. Kepedulian, persahabatan, kebahagiaan, dan kasih sayang adalah kata-kata yang paling sering disebut oleh para pengikut saat ditanya kontribusi sang pemimpin dalam kehidupan mereka. Seorang pengikut mendambakan pemimpin yang mampu membangun fondasi kukuh.

Pemimpin yang baik menjadi sandaran para pengikut pada saat dibutuhkan. Berdasarkan hasil survei, para pengikut ini menyebut kata-kata keamanan, kekuatan, dukungan, dan perdamaian. Para pengikut juga ingin tahu apakah pemimpin mereka memiliki nilai-nilai inti yang stabil. Mereka berkepentingan untuk melindungi diri dari perubahan-perubahan yang tidak perlu serta memastikan pemahaman seputar hal-hal yang menjadi ekspektasinya.

Primus Interpares dan Wilayah Abu-abu

Superleader walaupun mempunyai kewenangan untuk mengatur jajaran di bawahnya sering berpikir di dalam kerangka berbeda daripada sekedar menerapkan kewenangan.
Ia menyadari sepenuhnya bahwa pemimpin jajaran di bawahnya adalah pemimpin sejati dengan segala hak, tugas kewenangan serta martabat yang harus dihormati. Oleh karenanya ia acap menempatkan diri tidak sebagai atasan tetapi dengan sengaja itu tidak digunakan sepanjang waktu, melainkan hanya apabila dipandang perlu saja.

Acap kali di dalam berhubungan dengan anak buahnya atau pengikutnya yang dianggap senior sering menggunakan pendekatan primus interpares. Hal ini akan berakibat pemberian motivasi dan penghargaan yang akan berakibat pada pencapaian hasil lebih tinggi. Terutama para pemimpin di bawah kordinasinya akan memperoleh kesempatan untuk bekerja dengan tingkat motivasi yang tinggi karena disertai dengan kesempatan mengaktualisasikan dirinya.

Seorang Superleader harus menerima kenyataan bahwa kasus-kasus yang dimintakan pertimbangan kepadanya bukanlah kasus-kasus yang umum. Bukan kasus benar-salahnya jelas. Bahkan mungkin tidak terdapat di dalam undang-undang atau peraturan yang ada. Dalam hal semacam inilah seorang superleader harus sangat realistis.

Di satu sisi ia mengharapkan masukan informasi yang lengkap, namun di sisi lain memerlukan waktu yang lama. Sehingga pada waktu semua informasi terkumpul, semuanya sudah menjadi terlambat. Oleh karenanya lebih baik bekerja dengan informasi yang dapat dikumpulkan secara memadai dalam masa waktu tertentu, daripada memperoleh semua informasi yang dibutuhkan namun sudah terlambat.

Keterbatasan lain yang sering dihadapi oleh seorang Superleader adalah tidak ada preseden, sehingga tidak bisa belajar dari masa lalu. Di sinilah justru kemampuan dari seorang superleader sangat dihargai.

Menakar Capres

Walaupun kita memiliki acuan yang sama berupa karakteristik superleader untuk menakar kemampuan para capres, tapi persepsi kita terhadap para capres berbeda. Sehingga hasilnya pun akan berbeda-beda berdasarkan citra kita terhadap masing-masing capres. Citra ini terbentuk dari asosiasi antara seorang capres dan atribut/ciri, yang terekam dalam ingatan kita, yang tak terlepas dari strategi komunikasi politik yang dibangun oleh para capres.

Selamat memilih superleader, atau setidaknya pemimpin yang mendekati superleader. (***)


* Managing Partner The Jakarta Consulting Group

Oleh A.B. Susanto*
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009