Pekanbaru (ANTARA News) - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) turun ke lokasi bentrokan antarkaryawan perusahaan PT Sumatra Silva Lestari (SSL) dengan warga Desa Tangun di Kabupaten Rokan Hulu (Rohul), Riau, yang menewaskan tiga warga desa setempat.

Ketua Sub Komisi Bidang Pemantauan dan Penyidikan Komnas HAM Nurcholis kepada ANTARA di Pekanbaru, Sabtu, mengatakan, pihaknya mulai turun ke lokasi untuk mencari fakta tentang bentrokan berdarah yang menewaskan tiga warga yang tidak ada penyelidikan terhadap kasus itu.

"Kami datang kemari untuk mencari fakta dan membantu proses penegakan hukum terhadap warga Desa Tangun yang bentrok dengan karyawan PT SSL pada 28 Mei 2009," katanya.

Dalam bentrokan itu, katanya, tiga orang warga meninggal. Kasus kematian warga itulah yang ingin diungkap pascabentrokan enam orang yang kini ditahan, sedangkan perusahaan tidak ada tindakan hukum yang dilakukan.

"Jika Komnas HAM menemukan kejanggalan dalam kasus itu, maka Komnas HAM akan memberikan rekomendasi kepada polisi dan aparat terkait lainnya untuk menindak PT SSL. Begitu juga jika dalam bentrok dan penyidikan terhadap warga ada aparat yang terlibat tindak kekerasan maka Komnas HAM akan memberikan rekomendasi kepada atasannya agar oknum itu diusut," katanya.

Komnas HAM juga mengimbau Kapolda Riau agar segera memulihkan kondisi keamanan di Desa Tangun, karena sampai kini masyarakat masih trauma untuk keluar rumah dan bekerja untuk mencari nafkah.

Kepada Gubernur Riau, Komnas HAM mengimbau supaya segera dilakukan langkah-langkah yang melindungi warga dan pemerintah jangan berpihak kepada perusahaan.

Gubernur Riau harus mulai berpikir bahwa bukan hanya investasi perusahaan besar saja yang bisa mensejahterakan rakyat Riau dan gubernur sebaiknya meninjau kembali kebijakan memberi izin investasi kepada perusahaan-perusahaan besar di daerah tersebut karena pada akhirnya perusahaan-perusahaan itu justru menimbulkan kerugian pada masyarakat.

"Hak hidup mereka dirampas, bukan hanya sekedar lahan tetapi juga nyawa masyarakat ikut dirampas. Jika perlu diadakan rekonsiliasi,

maka lakukan dengan segera," ungkap Nurcholis.

Sementara itu, berdasarkan temuan Tim Pencari Fakta (TPF) Forum Komunikasi Pemuka masyarakat Riau (FKPMR), pemicu konflik warga dengan anak perusahaan PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) itu adalah tuntutan warga agar tanah ulayat mereka yang dirampas PT SSL seluas 1.000 hektare supaya dikembalikan.

Ketua Harian FKPMR Al Azhar mengatakan, konflik sudah dimulai sejak tahun 1995. Perusahaan pernah distatusquokan oleh Bupati Kampar pada tahun 1997, tetapi tanpa kesepakatan dengan masyarakat tiba-tiba PT SSL beroperasi kembali pada tahun 1998.

"Akhirnya masyarakat mengajukan enclave kepada Menteri Kehutanan pada tahun 2000 tapi tidak ditanggapi," kata Al Azhar.

Menurut dia, akibat berlarut-larutnya konflik yang tidak dapat diselesaikan pemerintah maka masyarakat mendatangi perusahaan mempertanyakan status perusahaan pemasok kayu RAPP itu, namun bukannya jawaban yang diterima masyarakat tetapi penyerangan dan penahanan.

"Dalam kasus sengketa lahan ini tiga warga meninggal," katanya.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009