Jakarta (ANTARA News) - Miskinnya konten lokal dalam dunia penyiaran dinilai menjadi penyebab utama yang mendorong terjadinya praktik televisi berbayar ilegal yang kini marak di Indonesia.

"Satu hal yang jadi kendala pada dunia penyiaran, yaitu miskinnya konten lokal, dan ini jadi tugas kita bersama, termasuk APMI, karena konten premium yang kita punya mayoritas masih konten luar," kata Sekretaris Jenderal Asosiasi Penyelenggara Multimedia Indonesia (APMI), Arya M. Sinulingga, di Jakarta, Selasa.

Menurut dia, fakta itu sebenarnya dapat dijadikan pendorong agar bisnis penyiaran semakin diramaikan oleh karya kreatif generasi muda yang mengusung kearifan lokal daerahnya masing-masing.

Jika kreativitas dapat diwujudkan maka dari aspek legal dan bisnis usaha penyiaran akan dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat.

Lebih lanjut, Arya berpendapat, perlu adanya sinergi dari pemerintah dan industri, serta dengan masyarakat untuk bersama-sama menertibkan pemain ilegal ini.

"Saat ini APMI bersama pemerintah dan KPI mensosialisasikan masalah ini ke daerah untuk memberitahu kepada mereka bahwa hal ini salah dan mendorong mereka untuk legal. Mari bersama-sama secara fair bermain di pasar yang ada," kata Arya.

Menurut data APMI, pratik televisi berbayar ilegal sudah terjadi sejak 2004 dan kian menjamur. Saat ini, jumlah pelanggan yang ilegal sudah mencapai 1,4 juta pelanggan, sedangkan yang resmi hanya sekitar 800 pelanggan.

"Akibatnya `potensial lost` sangat tinggi akan dialami oleh operator resmi. Sementara operator resmi menjadi sulit untuk berkembang, padahal dibangun dengan investasi yang sangat besar," katanya.

Ia menambahkan, sebelumnya distribusi ilegal tersebut diperkirakan hanya terjadi di dua provinsi yakni Kalimantan Timur dan Sulawesi Selatan. Namun sekarang semakin meluas ke Sumatera (Medan, Rantau Prapat, Tanjung Balai, Batam, Jambi), Jawa Timur (Jember), dan Jawa Tengah. ?Penyebaran terjadi sangat masif di seluruh nusantara," katanya.

Pihaknya menilai hal yang harus diprioritaskan dalam kasus ini adalah sesegera mungkin menghentikan praktek ilegal tersebut karena banyak "potensial lost" yang dialami.

"Banyak sekali kerugian yang dialami, sulit berkembang, karena hambatan dalam penjualan. Pemain ilegal menjual lebih murah karena mereka tidak membeli apapun dan mereka tidak bayar pajak, jelas ini merugikan pemerintah juga," katanya.

Terkait persoalan itu, pemerintah menghimbau, demi memajukan industri penyiaran dalam atmosfer yang baik, maka seluruh pelaku bisnis di dalamnya harus mengikuti peraturan perundangan yang ada.

"Oleh karena itu, kita melakukan edukasi dalam konteks penyadaran. Pertama informasi adalah hak masyarakat, dan itu tugas kita bersama untuk memberikan akses sebesar-besarnyanya kepada masyarakat. Yang tak kalah penting juga aspek Legal," kata Direktur Jenderal Sarana Komunikasi dan Diseminasi Informasi Departemen Komunikasi dan Informatika, Freddy Tulung.

Pihaknya mengakui hingga kini masih ada permasalahan yang menghantui industri televisi berbayar, yakni pemain ilegal yang kian menjamur.

"Ada pihak-pihak yang melakukan distribusi ulang siaran tanpa izin. Para pelaku ini menyiarkan kanal-kanal seperti HBO, Star, Nickeledeon tanpa hak siar dan mendapatkan uang iuran dari pelanggannya," katanya.

Freddy Tulung, membagi menjadi tiga macam redistribusi penyiaran ilegal. Pertama, penyelenggara tv kabel lokal mengambil konten free to air langsung lewat satelit melalui antena parabola dan meneruskan ke pelanggan.

Kedua, operator resmi yang mempunyai cabang-cabang di daerah-daerah mendistribusi ulang konten kepada pelanggannya atau ke manapun mereka mau dengan memungut biaya dari masyarakat dan biasanya lebih murah.

Ketiga, penyelenggara tv kabel lokal yang melakukan kerjasama dengan operator resmi dengan MOU. Namun operator ilegal melanggar isi perjanjiannya dengan menyiarkan ke publik semua kanal sedangkan mereka hanya bayar beberapa kanal premium saja.

"Mereka memungut iuran dari pelanggannya, hal ini melanggar hukum karena tak memiliki hak siar dan tak punya ijin penyelengaraan penyiaran," kata Freddy.

Ia mengatakan, dalam permasalahan itu payung hukum yang diberlakukan sudah sangat jelas khususnya untuk menertibkan para pemain ilegal tersebut.

"Pemerintah berpegang pada UU no.32 tahun 2002 tentang penyiaran, sedangkan khusus untuk lembaga penyiaran berlangganan merujuk kepada Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 2005," katanya.

Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Sasa Djuarsa, turut mendukung penertiban yang dilakukan oleh Depkominfo. Ia bahkan mengaku menyaksikan sendiri praktik pemain ilegal tersebut di beberapa daerah seperti di Gorontalo, Kalimantan timur, dan lain sebagainya. "KPI bersama Depkominfo akan melakukan kajian langsung ke bawah," katanya.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009