Jakarta,(ANTARA News) - Ingin mengetahui "password" keren menjelang Pilpres 2009? Silakan membuka halaman demi halaman koran, maka kata "jangan" menohok pancaindra. Amati saja pernyataan, "jangan kencing di sini" yang sama sebangun dengan pernyataan "jangan menistakan sesama kawula".

Selarik doa pagi yang ingin mengetuk pintu Pencipta, meskipun gerbang Pengasih belum mau terbuka juga. Mengapa? Ini sebentuk pertanyaan purba. Ketika manusia mulai berperilaku bersama dengan sesamanya, maka yang baik dan yang benar langsung meneror.

Serta merta manusia tertantang menjawab tiga pertanyaan besar: Apa yang harus kulakukan? Apa yang bernilai? Apa arti kata baik?

Uups...jadilah terang benderang jawaban yang terbalut dalam sindiran (pasemon) tentang lakon "Petruk Dadi Ratu". Lakon impian ini berkisah tentang orang bodoh yang beruntung menjadi raja. Melodrama mengenai gelandangan yang menjadi kaya dan lupa daratan (bahasa Jawa: kere munggah bale).

Petruk dadi ratu, menurut kolumnis Sindhunata, bukan lakonnya orang bodoh jadi raja, atau lakon orang kecil ber-aji mumpung, tapi lakon hinggapnya wahyu dalam diri rakyat. Siapa rakyat? Adakah hidup mereka baik dan hidup mereka bernilai?

Pertanyaan-pertanyaan seputar rakyat tampak laku laris manis karena ada mesin kampanye yang membuat efek simsalabim. Mengenai kampanye, budayawan YB Mangunwijaya punya pendapat yang membetot pencerahan, mencubit kemapanan. Katanya, politikus berkampanye dengan segala jalan untuk memenangkan pemilu, dengan menggunakan cara-cara Machiavelli.

Kosok balik, negarawan berjuang demi hari depan yang berkehidupan dan berkemanusiaan, adil dan beradab, memperjuangkan nilai hidup bersama yang rasional, serta kesejahateraan umum yang bermoral dan beretika bernegara dalam dan lewat "fair play". Ini sungguh pesan kenabian (profetis) khas Romo Mangun di tengah hiruk pikuk kampanye.

Tanpa menggunakan kata jangan, pernyataan itu mengerucut kepada pesan pencerahan bahwa raja tak akan menjadi raja, kalau tidak dipangku oleh rakyat (kawula). Rakyat seperti saya ini," kata Petruk seperti ditulis Sindhunata dalam buku berjudul Bayang-bayang Ratu Adil.

"Kawula itu ada sepanjang jaman. Sementara raja itu tidaklah abadi. Ia bertahta hanya dalam masa tertentu. Ketika masa itu lewat, ia harus turun atau binasa. Sementara rakyat itu terus ada. Buktinya, saya ini ada sepanjang jaman, menjadi punakawan dari masa ke masa, sampai hari ini," kata Petruk.

Maksudnya? Hanya rakyat yang dapat membantu penguasa untuk menorehkan sejarah. "Penguasa harus berkorban demi kawula, tidak malah menjarah hidup rakyat (ngrayah uripe kawula). Kuasa itu harus mau berkorban (kwasa iku kudu ana lelabuhane)," tulis Sindhu yang juga Pemimpin Redaksi Majalah Basis.

Siapa rakyat? Di mana dan bagaimana kawula? Rakyat tengah mengalami "kerusakan yang diderita" karena password-nya yakni kehidupan yang terus terancam ketika meniti arus jaman. Dari trauma menuju trauma berikutnya, kawula merasakan bahwa ranah dunia kehidupan (Lebenswelt) termakan arus kemalangan dan arus penderitaan. Tubuhnya terancam, tubuhnya teraniaya, tubuhnya tersesah.

Meminjam istilah filsuf Blaise Pascal, tubuh memiliki rasionalitasnya sendiri yang tidak dapat dipahami oleh rasionalitas rasio. Pembacaannya, kawula terus menerus menerima sinyal negatif, karena rakyat terus diimbau penguasa agar mencipta dan membebaskan hidupnya dari belenggu kemalangan.

Bukankah oksigen kampanye menghembuskan optimisme di tengah pesimisme kawula? Jawabnya, silakan membaca, mencermati dan merefleksikan percik pengalaman kawula.

Percik pertama, pemerintah pada 2010 akan memangkas anggaran subsidi beras untuk orang miskin atau raskin dari Rp13 triliun menjadi Rp8,918 triliun. Rencana ini mendapat tantangan keras dari komisi IV DPR, seperti diwartakan harian Kompas.

Direktur Utama Perum Bulog Mustafa Abubakar dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IV DPR, Senin (8/6) di Jakarta, mengatakan, sesuai Surat Edaran Bersama Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas dan Menteri Keuangan menyebutkan, pagu indikatif anggaran subsidi beras pada 2010 mencapai Rp8,918 triliun.

Alokasi raskin per rumah tangga sasaran (RTS) pada 2010 juga dilorotkan manjadi 10 kilogram (kg) per keluarga dari sebelumnya 15 kg selama 12 bulan (setahun). Wah!

Lagi-lagi soal beras. Menjelang panen padi musim gadu, harga beras di sejumlah pasar grosir di Jember dan Probolinggo, Jawa Timur, berangsur meninggi. Kenaikan harga selama sepekan ini sekitar Rp200 per kilogram untuk semua jenis.

Harga 1 kg beras kualitas premium sepekan ini naik dari Rp5.800 jadi Rp6.000, beras kualitas medium naik dari Rp5.300 menjadi Rp5.500, dan beras kualitas Bulog naik dari Rp4.000 menjadi Rp4.500. Ini percik kedua.

Percik ketiga, pemerintah berjanji tidak akan menaikkan harga BBM bersubsidi selama Juni 2009 kendati harga minyak mentah dunia bergerak dan bergejolak naik ke level 73 dolar AS per barel.

"Dari evaluasi bulan ini, tidak ada kenaikan BBM bersubsidi," kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro seusai sidang pertama anggota Dewan Energi Nasional (DEN) di Jakarta, Jumat (12/6), seperti dimuat dalam harian Bisnis Indonesia.

Nah...ketika tiga percik pengalaman itu disorong ke mulut kawula, maka jadilah asupan gizi jiwa yang menyisakan trauma. Kalau rakyat dapat membantu penguasa untuk menuliskan sejarah, maka yang diperlukan yakni penyembuhan dari trauma. Paradoks dalam lakon Patruk Dadi Ratu.

Kalau penduduk Yunani Kuno melafalkan rumusan bahwa di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat (mens sana in corpore sano", maka daulat rakyat kepada penguasa menyebutkan syahadat bahwa raihlah dahulu tubuh yang sehat, maka jiwa yang sehat akan diberikan kepadamu.

Bagaimana memotong rantai trauma bagi kawula? Hentikan "habit lama" atau tirani yang memenjarakan tubuh dan perilaku lawas. Yang lewat, yang dialami rakyat jadi guratan tugas bagi penguasa di masa depan. Jangan ada lagi korban, jangan ada lagi tumbal, karena masa lampau bagi korban hanyalah trauma.

Mencari alasan mengapa penguasa wajib membebaskan kawula dari keterkungkungan adalah tidak pada tempatnya. Orang yang masih bertanya mengapa tidak boleh memperkosa, hanyalah menandakan bahwa orang itu mengalami defisit moralitas. Orang bermoral tahu dengan sendirinya bahwa ia harus bermoral. Kalau pun, ia masih memerlukan alasan, itu tanda bahwa ia tidak bermoral.

Dan ada sepenggal doa dari seorang bocah di Nederland ketika melewati masa krisis: "Ya Tuhan, kami lapar. Dan mungkin esok adikku akan mati. Terimakasih ya Tuhan, sebab bila adikku mati, maka saya dapat makan roti secuil lagi".(*)

Oleh Oleh A.A. Ariwibowo
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2009