Jakarta (ANTARA News) - Biaya kesehatan akibat sanitasi buruk di Indonesia mencapai Rp31 triliun per tahun, demikian hasil penelitian Water and Sanitation Program (WSP) Bank Dunia yang disampaikan dalam Diskusi Media Merespon Debat Capres.

Dalam diskusi yang diadakan oleh Jejaring Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (AMPL) di Gedung Komunitas Salihara Pasar Minggu, Jakarta, Jumat, itu diungkapkan bahwa biaya kesehatan akibat sanitasi buruk mencapai Rp139.000 per orang per tahun atau secara nasional Rp31 triliun.

Dari hasil penelitian Water and Sanitation Program (WSP) Bank Dunia pada 2007 menyebutkan, Indonesia harus kehilangan Rp58 triliun atau setara dengan Rp265.000 per orang setiap tahun, akibat sanitasi buruk.

Sementara, sekitar 43 persen jumlah penduduk Indonesia atau sekitar 94 juta orang belum memiliki jamban. Akibatnya, terjadi 121.000 kasus diare yang memakan korban lebih 50 ribu jiwa setiap tahun.

"Temuan itu sangat mencengangkan kita semua, sehingga harus ada upaya untuk melakukan perbaikan lingkungan, khususnya terkait masalah sanitasi," ungkap Direktur Dana Mitra Lingkungan, Kemal Taruc.

Disebutkan pula, air limbah yang tidak diolah menghasilkan lebih dari enam juta ton kotoran manusia per tahun yang dibuang di saluran air.

Kerugian yang ditimbulkan akibat tercemarnya air bersih itu mencapai Rp63.000 per orang setiap tahun atau secara nasional mencapai Rp14 triliun.

"Selain dampak kesehatan, akibat sanitasi buruk itu juga membawa dampak negatif pada sektor lainnya seperi pertanian dan pariwisata," katanya.

"Namun, masalah sanitasi juga bukan hanya terjadi pada masyarakat miskin, tetapi banyak golongan menengah kurang memperhatikan masalah kesehatan," ungkap Kemal Taruc.

Ekonom Institute for Development Economy and Finance (Indef), Aviliani, yang juga hadir sebagai pembicara dalam diskusi bertema "Pengentasan Kemiskinan dan Pengangguran Dari Sudut Pandang Sanitasi" itu mengatakan, masalah sanitasi dan pengangguran tidak terlepas dari anggaran dan sikap pemerintah.

"Mestinya perusahaan memasukkan masalah kerugian lingkungan pada buku neraca rugi laba mereka. Namun, banyak perusahaan yang tidak setuju sehingga masalah sanitasi masih kurang mendapat porsi yang baik," ungkap Aviliani.

Ia juga menyebut, belum ada koordinasi antara pihak pemerintah daerah (Pemda) sehingga masalah sanitasi khususnya terkait pengelolaan sampah belum optimal.

"Harus ada kebijakan pemerintah pusat agar ada koordinasi yang baik antar Pemda. Misalnya, (contoh koordinasi yang kurang baik) saling lempar tanggung jawab masalah sampah DKI Jakarta yang dibuang di wilayah Bogor," katanya.
(*)

Pewarta:
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2009