Kuala Lumpur (ANTARA News/AFP) - Malaysia, Selasa, mengumumkan meliberalisasi perekonomiannya yang tengah menuju resesi yang dengan demikian dicampakanlah kebijakan yang menomorsatukan pengusaha pribumi Melayu yang berdekade-dekade lamanya dipraktikan Malaysia.

Perdana Menteri Najib Razak meniadakan aturan yang mensyaratkan 30 persen saham perusahaan yang dilepaskan perdana ke publik (initial public offerings atau IPO) harus dibeli kaum Melayu, sekaligus membuang ketentuan yang membatasi pembelian properti domestik oleh asing.

"Kebijakan baru ini akan membuat perekonomian kita lebih terpacu. Saya kira ketentuan ini akan menempatkan kita di atas radar sehingga menarik arus investasi langsung dan modal dari luar negeri," kata Najib.

Para ekonom menyambut langkah liberalisasi pasar yang dikenalkan setelah pemerintah mengingatkan bahwa perekonomian nasional akan berkontraksi 5 persen tahun ini.

"Karena ada penurunan tajam dari (volume) investasi asing langsung, langkah ini akan menempatkan Malaysia pada posisi menguntungkan dalam menarik FDI dan memelihara investasi domestik yang melesu sejak krisis keuangan Asia 1998," kata Yeah Kim Leng, kepala ekonom pada RAM Holdings.

Pemerintah Malayasia telah menanggalkan syarat persetujuan minimal dari Komite Investasi Asing (FIC) mengenai transaksi modal asing, kecuali yang menjadi kepentingan kelompok pribumi Melayu.

Para pemodal asing tidak akan lagi memerlukan persetujuan pemerintah ketika menempuh akuisisi dan merger.

"Dalam kerangka FIC, kita bisa menyebut ketentuan itu sudah tidak ada lagi," kata Najib kepada wartawan seraya menandaskan bahwa ketentuan ini tidak lagi menjadi instrumen kebijakan yang efektif dalam menyokong pertumbuhan ekonomi.

FIC adalah bagian dari rencana aksi afirmatif Malaysia yang dikenal dengan sebutan Kebijakan Ekonomi Baru (NEP), satu skema kontroversial untuk meningkatkan status pengusaha etnis Melayu
yang menjadi bagian terbesar dari komposisi penduduk di negara yang multikultur ini.

Kebijakan itu dikenalkan setelah kerusuhan rasial pada 1969 dan ditujukan untuk mengatasi dominasi komunitas etnis Cina yang mendominasi sektor bisnis Malaysia, dengan cara memberi kemudahan kepada Melayu dalam soal perumahan, pendidikan dan pekerjaan.

Sejumlah kalangan mengkritik kebijakan itu karena telah menekan pertumbuhan ekonomi dan lebih banyak menguntungkan perusahaan-perusahaan yang dikelola pribumi Malaysia, namun tidak berhasil mengatasi kemiskinan di masyarakat bawah.

Ketika NEP pertamakali diperkenalkan, kaum bumiputera hanya menguasai 2,4 persen perusahaan-perusahaan di Malaysia, namun kini angkanya telah tumbuh menjadi 19,4 persen. Menurut Najib, ketentuan baru yang diluncurkannya sekarang tidak akan menimbulkan gejolak politik.

"Kami ingin adil kepada semua komunitas. Tak seorang pun harus merasa terpinggirkan atau tak diuntungkan. Langkah ini adalah aturan penyeimbang (bisnis) tipuan. Ini adalah (untuk) yang bekerja yang mampu," demikian Najib. (*)

Pewarta:
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2009