Jakarta (ANTARA News) - Ujaran khas Betawi, "bacot!", terdengar membetot telinga pendengar, terlontar menerpa tanya, "Apa katamu?" Maklum, selaksa ujaran menyimpan selaksa makna: B untuk Brasil dan B untuk Bacot.

Siapa sangka, siapa duga bahwa skuad Samba melabrak energi bacot, kemudian menimba energi kemenangan. Sama-sama beraksara B, berbeda magnet artinya. Paripurna sudah laga sarat drama bagi balatentara Samba. Satu kata bernas saja yakni fantastis.

Betapa tidak? Negeri yang disapih dari pemikiran khas Pembebasan dari belenggu kapitalisme Barat itu akhirnya direstui sebagai kampiun Piala Konfederasi. Seterunya bukan kepalang tanggung, Amerika Serikat. Alhasilnya, Negeri Paman Sam bergetar dan bertekuk lutut, karena terkena hulu ledak Samba dengan skor 2-3.

Bacot tinggal sebatas bacot. Energi Brasil bukan sebatas bunga-bunga bacot, tetapi energi dari fakta berbuah digdaya.

Capaian itu membuat Brasil mempertahankan gelar yang mereka raih pada 2005. Brasil jadi satu-satunya negara yang tampil sebagai juara Piala Konfederasi tiga kali, melewati Perancis yang baru juara dua kali. Ini tuah energi Brasil.

Brasil membuat dan menjelaskan siapa dirinya: ada peristiwanya, ada tanggalnya, ada foto selebrasi kemenangan. Semua membenum kebenaran hakiki bahwa kemenangan bersumber dari asa "menciptakan diri" dan asa mengorganisasikan diri". Buktinya?

Mata bola dunia nanar karena Brasil tampil kurang memesona di babak pertama. Dengan mendominasi laga, nyatanya Brasil susahmenjebol benteng AS, bahkan sempat tertinggal 0-2. Drama berbuah fantasma. Dan Brasil tampil sebagai primadona.

Memasuki babak kedua, Brasil menggedor dan menciptakan pundi gol pada menit ke-46 melalui Luis Fabiano. Gairah samba bergejolak. Lini belakang AS tampak mulai kedodoran. Kedudukan 2-2 tercipta ketika Fabiano melesakkan bola ke gawang AS.

Kemenangan pun meruyak dan mengoyak tangis kubu Landon Donovan dan kawan-kawan. Sebuah sepak pojok Brasil di menit ke-82 membuahkan gol yang membawa Brasil unggul 3-2, dicetak oleh Lucio. Elano melambungkan bola ke tengah kotak penalti. Lucio menanduk ke dalam jala AS.

"Berikan penghargaan kepada mereka (Brasil).Mereka datang dengan gelombang demi gelombang dan mereka mungkin pantas menang," ujar Donovan. AS terlanjur mengusung predikat sebagai "tim underdog".

Pasukan Samba tengah mendongeng tentang akhir dari energi bacot. Bertutur dengan gincu kata yang ditancapkan ke dalam segenap serabut syaraf publik bakalberbuah absurd. Visualisasi menawan para fotografer, kecerdikan bercampur kejelian program audio-visual akhirnya melembagakan mimpi.

Brasil menyempal dari cengkeraman biuskata-kata. Menggauli laga bola adalah mencintai dengan sepenuh hati, bukan mengobral aneka janji. Dunia paradoksal Samba.

Setelah sukses mempertahankan Piala Konfederasi, pelatih Dunga meniupkan bara optimisme untuk menatap Piala Dunia 2010.

"Bahaya bisa saja mengintip," kata Dunga yang menjadi kapten timnas Brasil dalam Piala Dunia 1994. "Saya bertugas menemukan pemain yang benar-benar siap menjadi tim favorit. Yang terpenting, kami bekerja dengan tenang dan belajar dari kesalahan masa lalu. Dari sana, kami berangkat," katanya seperti dikutip dari AFP.

Dunga mengusung pekerja rumah. Dia ingin melampaui jerat sukses yang meninabobokan. Bukankah energi bacot simetri dengan jumawa?

Jawabnya, pasukan Samba telah menempuh jalan terjal, penuh batu, penuh onak berduri. "Jika kita memenangi laga (Piala Konfederasi) ini, maka terbukalah pintu gerbang itu. Saya mnaruh kepercayaan penuh kepada para pemain," katanya.

Skuad Dunga diisi punggawa muda dan bertalenta. Kaka yang menggetarkan langit Real Madrid, terpilih menjadi pemain terbaik dalam turnamen itu. "Kami harus menghindari euphoria karena segera bersiap menyambut Piala Dunia. Kami berharap tampil sebagai tim yang dijagokan. Tidak ada satu orang yang ingin menulis hal-hal kontroversial," kata Kaka.

Baik Dunga maupun Kaka membetot energi bacot. Keduanya memainkan kartu pertanyaan mendasar: mengapa manusia masih membutuhkan dongeng, masih memerlukan mitos. Jawabnya: manusia masih menempatkan mimpi sebagai asupan gizi sehari-hari.

Dari satu laga ke laga, skuad Samba tampak merasa nyaman dalam balutan ketidakjelasan, karena kejelasan menghadirkan kenyataan yang selama ini tidak diinginkan. Lagi-lagi, ini cengkok paradoksal Brasil.

"Kami berkomitmen. Pemain punya kualitas, pelatih miliki kualitas. Keduanya profesional. Dalam jangka waktu relatif lama, mereka tidak melewatkan cuti karena berada di Afrika Selatan," kata Dunga.

Pernyataan Dunga merujuk kepada syahadat bahwa manusia masih selalu mistis, karena mengharapkan Dewi Fortuna kemenangan dan kejayaan. Amerika Serikat juga membekap nilai mistis.

Pasukan asuhan pelatih Bob Bradley ini dapat pulang kampung dengan kepala tegak. Mereka datang ke Afrika Selatan sebagai tim yang tidak diunggulkan, tetapi melaju ke final dan membuat juara bertahan was-was. Kata pemain sayap Amerika Serikat Landon Donovan, sebuah tim tetap tidak mendapat apa-apa, selama gagal menjuarai partai final. Mengapa kekalahan bisa begitu tragis?

"Kekalahan ini sungguh menyakitkan. Saya bangga dengan penampilan para pemain. Saya berharap, seluruh dunia menyaksikan bahwa kami punya pemain-pemain hebat. Ini sungguh langkah yang membesarkan hati," kata Bradley.

Yang fantastis, selama ini AS bukan episentrum dari gempa laga bola seantero jagat raya. Sukses AS merujuk kepada maklumat bahwa dunia tidak melulu terdiri dari satu pusat. Ada banyak sistem di horison jagat bola. Karena itu, dikenal ujaran ngepop, "semua orang berhak merasa bahagia".

Rujukannya, Piala Konfederasi menyisakan pijar kehidupan. Yang berjaya diraih Tim Samba. Yang berduka diraup tim Paman Sam. Estetika bola berhadapan dengan atraksi panggung gemerlap khas Negeri "Super Power". Kaka melahap "Golden Ball". Luis Fabiano mengukuhkan diri sebagai pencetak gol terbanyak (lima gol). Dua-duanya berasal dari Brasil.

Di belakang Fabiano, bukan pemain kelas kacangan. Ada Fernando Torres dan David Villa (Spanyol), Clint Dempsey (AS) yang masing-masing mengoleksi tiga gol. Berikutnya, Katlego Mphela dan Bernard Parker (Rusia), Landon Donovan (AS), Daniel Guiza Spanyol), Kaka (Brazil), Giuseppe Rossi (Italia), Mohamed Zidan (Mesir), masing-masing mencetak dua gol.

Ketika melafalkan alfabet siapa menjuarai apa, ada penjelasan tersirat dan tersurat bahwa manusia bukanlah sistem, manusia tidak hanya hidup, tidak hanya berpikir. Manusia memuat kemajemukan. Dan ziarah sejarah menorehkan tinta emas bahwa Samba tampil melekat dalam improvisasi.

Jejaring taktik sebatas jejaring otak. Skema laga buah dari pemikiran. Padahal laga kehidupan seluas alam raya yang menyimpan celah misteri tak terbatas. Sepak bola Brasil benar-benar khas. Dia bagaikan tembang yang punya tangga nada unik dan mempesona.

Energi Brasil tunggal saja: berkomunikasi bersama dengan publik. Energi Brasil satu saja: membongkar anggapan elite yang mabok kemenangan, yang memeluk erat jargon "societies without people". Akhir sejarah dari energi bacot! (*)

Pewarta: Oleh A.A. Ariwibowo
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2009