Jakarta (ANTARA News) - Ajang pemilihan presiden (pilpres) berubah menjadi ajang Indonesian Idol di mana ketiga capres-cawapres menjadi bintangnya, kata Senior Editor Perum LKBN ANTARA, Akhmad Kusaeni.

Dalam dialog dengan tema "Mencari Presiden Pilihan Rakyat" pada acara bincang-bincang ANTARA (BICARA) di Stasiun SUN TV Jakarta, Kamis, Kusaeni mengatakan, televisi saat ini sangat mungkin untuk menjadi penentu bagi pemilih, karena seluruh acara capres-cawapres dikemas menjadi sebuah "acara hiburan.

Dengan demikian, kata dia, figur secara fisik capres cawapres seperti postur tubuh dan kharisma menjadi sangat penting selain program kerja yang bakal diusung.

"Pemilu kini telah berubah menjadi "political marketing" sehingga jadi produk yang paling sering muncul di televisi yang akan dikenal masyarakat," kata Kusaeni.

Peran media televisi yang cukup besar tersebut, kata dia, seakan-akan mampu menjadi hakim penentu kemenangan bagi masing-masing capres-cawapres.

Dalam acara yang dipandu oleh Bahrul Alam dan bakal disiarkan di 12 stasiun televisi lokal Sabtu (4/7) pukul 20:00 Wib, Kusaeni mengatakan saat ini untuk menjadi seorang presiden harus dikenal rakyat.

Namun demikian, ketika terkenal maka menjaga "track record" untuk selalu terlihat baik menjadi suatu keharusan. Bila itu tidak dilakukan, akan sulit untuk mendapatkan pemilih dan keluar menjadi pemenang.

Dengan demikian, yang terjadi adalah tim pemenangan Pemilu berusaha keras untuk menutupi yang buruk-buruk.

"Makanya kini betapa berjayanya lembaga-lembaga survei di Indonesia," kata dia.

Kusaeni juga mengatakan, mendekati Pemilu pada 8 Juli mendatang, masyarakat telah memiliki pilihan. Hanya tinggal 20 persen yang dalam kondisi bimbang.

Sehingga pertarungan yang dilakukan oleh masing-masing tim sukses dan tim iklan adalah memperebutkan suara pemilih yang masih bimbang tersebut.

Kendati demikian, perubahan arus politik saat ini merupakan anugerah bagi bangsa Indonesia, karena selama proses Pemilu terhindari dari pertumpahan darah tidak seperti pelaksanaan Pemilu sebelumnya.

Senada dengan Kusaeni, Pengamat Politik Universitas Indonesia yang juga menjadi pembicara dalam "BICARA", Sri Budi Eko Wardhani mengatakan, media televisi kini menjadi tempat kampanye yang lebih menarik, yang bisa menggantikan pertemuan langsung antara pemilih dengan capres-cawapres.

Kondisi tersebut menjadi sebuah kesenjangan dalam proses pendidikan politik, karena masyarkat hanya akan memilih kemasan yang bagus, bukan pada program-program yang bakal dilakukan.

Sedangkan media cetak, kata dia, yang memberikan ulasan mendalam kini hanya dibaca sekitar tiga persen dari jumlah pemilih, sehingga dikhawatirkan siapa pemimpin yang terbaik pilihan rakyat nantinya menjadi bias.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009