Tokyo (ANTARA News) - Pejabat tinggi pemerintahan Jepang bisa memahami batalnya kedatangan Menkeu Sri Mulyani Indrawati ke Negeri Sakura tersebut yang sudah dijadwalkan sebelumnya untuk membahas soal pinjaman dan bilateral swap agreement dari Jepang.

Hal itu disampaikan Dubes RI untuk Jepang Jusuf Anwar setelah menyaksikan penandatangan pemberian bantuan pembiayaan perdagangan (trade financing) dari JBIC kepada Bank Ekspor Indonesia (BEI) di Tokyo, Senin.

"Mereka bisa memaklumi bahwa kondisinya tidak tepat untuk datang ke Jepang," kata Jusuf Anwar lagi.

Menteri Keuangan sekaligus Pelaksana Jabatan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sri Mulyani Indrawati membatalkan kunjungan ke Jepang yang dijadwalkan mulai Senin (6/7).

Ia dijadwalkan bertemu dengan Menkeu Jepang Kaoru Yosano, Menteri Ekonomi, Perdagangan, dan Industri (METI) Toshihiro Nikai, serta petinggi Bank Jepang untuk Kerja Sama Internasional (JBIC).

Sejumlah pejabat lantas ditunjuk menggantikan peran Sri Mulyani, yaitu Deputi Gubernur BI Hartadi A. Saryono, Dirjen Pengelolaan Utang Depkeu Rahmat Waluyanto dan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Depkeu Anggito Abimanyu.

Batalnya Sri Mulyani mengundang komentar sejumlah tokoh partai politik Indonesia di Jepang, bahkan beberapa di antaranya mengkhawatirkan kedatangan Sri Mulyani itu memanaskan polemik soal utang luar negeri yang memang menjadi topik hangat selama masa kampanye pilpres 2009.

Para kandidat presiden dan wakil presiden di Indonesia menjadikan isu neoliberalisme dan kemandirian ekonomi tiba-tiba sebagai jargon yang populer.

"Memang kalau jadi datang, sepertinya Menkeu tidak sensitif akan situasi yang sedang berkembang menjelang pilpres 8 Juli nanti. Syukurlah tidak jadi datang, sehingga bisa menghindari terjadinya polemik yang lebih jauh," kata Dicky Arisalfa, pengurus Partai Demokrat yang ada di Jepang.

Sri Mulyani sendiri dituding oleh Direktur Eksekutif Institute Global for Justice (IGJ) Indah Sukmaningsih terlalu memandang enteng soal utang negara, bahkan dinilai terlalu naif dan pragmatis.

Bahkan ekonom INDEF Erani Yustika, mengatakan masalah yang terkait dengan utang tidak bisa dijelaskan dengan hitungan semata. Selama ini yang terjadi adalah persyaratan yang mengikuti pemberian hutang sehingga ada kerugian-kerugian lain dalam aspek tertentu.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009