Jakarta,(ANTARA News) - Patah hati? Jangan buru-buru kecil hati, karena dunia tak akan kiamat bila putus pacar atau putus persahabatan. Paling tidak, masih ada pangeran ganteng bagi seorang gadis atau masih ada putri molek bagi seorang perjaka. Dunia tidak sedaun kelor.

Jagat bola memberi diktat kehidupan. Betapa tidak? Tampil 272 laga, meniti karier selama 11 tahun di Stamford Bridge, menyarangkan 17 gol, dan mengantar trofi juara Liga Inggris untuk kali pertama dalam hitungan 50 tahun terakhir sejarah klub pada 2004-2005, tampak belum cukup bagi petinggi Chelsea untuk membuat hati John Terry boleh berlabuh. Cinta dibalas tuba.

Me-nya-kit-kan! Terry telah membela panji "The Blues"sejak usia 14 tahun, namun perlakuan yang diterimanya saat memasuki pekan pertama Juli 2009 dirasakan tidaklah setimpal.

Kini defender berusia 28 tahun ini merasa minum racun dari cawan "The Blues". Hatinya telah tertambat, tapi klubnya itu lambat-lambat berkhianat. Adakah cinta Terry sekarat?

Jawabnya, tidak juga. Memang, hati Terry tercabik. Ia mendapati kenyataan bahwa personel klubnya kurang menghiraukan penawaran Manchester City. Untuk memboyong kapten timnas Inggris itu, City siap menggelontorkan pundi sebanyak 200 ribu pound (Rp3,34 miliar) per pekan. Hati siapa tidak terlena dengan kemilau duit. Tapi hati Terry terlanjur terluka. Heem!

Kalau seseorang mengalami patah hati, maka hikmat kata-kata menguntai, "kalau tidak ada yang merasakan patah hati, kita semua akan menikahi orang pertama yang menawan hati". Kalau saja, Terry menjalani hari-hari serba oke, maka ia tidak memperoleh asupan gizi jiwa. Ada labirin keterhinaan ketika Terry mendayung bahtera hatinya.

Allenatore yang mengadu nasib di Chelsea, Carlo Ancellotti menawarkan satu penggal humor di tengah kekeruhan dan kebekuan hati Terry. Pelatih berpenampilan flamboyan asal Italia yang kini telah mulai fasih berbahasa Inggris itu menawarkan butir-butir pencerahan.

Hati siapa yang tidak jatuh iba ketika mendapati hati manusia begitu keruh, begitu kelam. Pelita hatinya makin redup.

Setelah mencecap segepok pengalaman, Ancelotti mencoba untuk menunjukkan bahwa ada orang yang hidup dengan fiksi di kepalanya, meski mampu menggebrak alam kasat mata.

Carletto - begitu Ancelotti kerap dipanggil - mengeja alfabet hikmat. Selama seseorang tidak mampu menguasai pernik suasana hati dan embel-embel emosinya, maka seseorang menjadi budak ketidaksadaran bernama kebencian.

Bahasa sehari-harinya, amit-amit. Adakah dunia yang tidak sedaun kelor ini tampil begitu rumit, begitu ruwet dan begitu "mbulet"?

"John Terry tampil sebagai simbol tim ini. Saya tidak tahu apakah ia masih akan mengenakan ban kapten di musim kompetisi mendatang," kata Ancelotti. Alis mata pendengar yang hadir waktu itu sedikit tergerak naik. "Sesungguhnya saya suka melontarkan humor...," katanya pula.

Humor khas pencerahan Carletto itu menyimpan makna ganda. Pertama, Terry berada "selamanya" di Chelsea. Kedua, Terry boleh berbesar hati karena tidak berlaku banderol transfer bagi tim manapun yang berminat. Ada ingatan akan semburat keabadian di Chelsea.

Kalau ingatan memuat ruang yang mampu mencatat selaksa kenangan manis dan kenangan pahit, maka ingatan mengolah seluruh kenangan untuk memperoleh kematangan kepribadian.

Karena itu, saatnya bagi Terry bicara blak-blakan untuk memadamkan beredarnya aneka spekulasi. Jika ia ingin tetap berada di Chelsea, maka ia hanya perlu mengatakannya. Jika ia ingin tetap berdiam diri, maka ia membiarkan hatinya terus terbakar bara kebencian dan kecurigaan.

Terry perlu belajar dari Ancelotti akan harga sebuah tiket kehidupan. Luiz Felipe Scolari telah merasakan dinamika di tubuh Chelsea. Pelatih gaek asal Negeri Samba itu terdepak setelah tujuh bulan menukangi Chelsea.

Dan Carletto ingin menjalin "Kisah Cinta". Ini salah satu sisi romantis dari pijar Serie A. Akankah Terry berujar, "Saya tidak mengerti bahasa Italia".

"Hal ini sudah jelas untuk kali kedua. Kami tidak ingin menghibur siapa pun dengan berkata-kata," demikian pernyataan dari laman Chelsea. "Kami ingin membuat semuanya terang benderang. John Terry tidak dijual," tulis pernyataan itu. Penegasan ini merujuk kepada kontrak Terry di Stamford Bridge sampai 2012.

Bahkan, Chairman Chelsea, Bruce Buck menambahkan, "Sebagai salah seorang pengagum Chelsea, saya akan kecewa bila John hengkang." Terry bersinonim dengan Chelsea dan Chelsea bersinonim dengan Terry. Kehangatan cinta dan kehangatan persahabatan memerlukan pernyataan plus tindakan. Tidak sebatas macan kertas.

Bukankah Terry telah melakoni 405 laga selama 12 tahun berada di kandang Chelsea itu. Dan bos Peter Kenyon menyebut Terry sebagai "hati dan jiwa Chelsea".

Alih-alih bara minat City pun padam, meski milyuner Abu Dhabi pemilik klub ini berambisi menambah amunisi dengan mendatangkan sejumlah nama pemain jempolan. Sebut saja, striker Roque Santa Cruz dari Blackburn (18 juta pound) dan gelandang Aston Villa Gareth Barry (12 juta pound).

The Blues pun masih mengerling beberapa pemain kinclong, yakni Alexandre Pato, David Villa, Franck Ribery dan Wesley Sneijder. The Blues hendak mengukir "sejarah besar" memasuki musim kompetisi mendatang. Meski drama yang menerpa Terry boleh disebut sebagai penggal dari "memento passionis".

Filsuf Walter Benjamin menyebut memento passionis sebagai sumber sejarah sejati yang memihak kepada korban, kepada mereka yang selama ini menjadi tumbal kehidupan. Gebyar sejarah kerapkali menggusur nyawa, menyulap korban sebatas angka. Sisi paradoksal dari manusia.

Dengan menyorongkan refleksi memento passionis, ziarah sejarah menghitung dan menjumlahkan seluruh ingatan akan apa dan siapa yang telah mengorbankan diri bagi kemajuan peradaban.

Ingatan merujuk kepada ruang batin. Dengan menapaki kasus Terry ini, Chelsea tidak ingin melakukan hegemoni makna. Chelsea tidak ingin mencuci otak setiap punggawanya.

Dunia tidak sedaun kelor. Ini artinya, jangan mandeg dalam secuil ketakutan atau kecurigaan. Hidupilah kebebasan dan hiruplah kemerdekaan hati.(*)

Pewarta: Oleh A.A. Ariwibowo
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2009