Karimun, Kepri (ANTARA News) - Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) Kabupaten Karimun, Provinsi Kepulauan Riau, H Harris Fadillah mengaku kecewa pada mahalnya harga seragam yang dijual pihak sekolah kepada siswa baru.

``Kami menyayangkan. Selain mahal dan tidak seragam, harga pakaian seragam sekolah sangat membebankan orang tua,`` katanya, di Tanjung Balai Karimun, Minggu.

Dia mengatakan, dari dengar pendapat LSM di DPRD Karimun, Sabtu (11/7) baru mengetahui ketidakseragamanan harga dan bahkan harga pakaian seragam ada yang tiga kali lipat.

``Kami ada mendengar ketidakseragaman harga, tapi tentang itu baru ini saya dengar. Padahal kami surat membuat surat edaran agar pihak sekolah menerapkan harga wajar sehingga tidak memberatkan masyarakat,`` katanya.

Untuk itu, pihaknya akan mengecek dengan memanggil para kepala sekolah pada Selasa (14/7).

``Saya upayakan secepatnya karena sifatnya sangat mendesak,`` katanya.

Menurut Harris, pihak komite dan sekolah seharusnya tidak menjadikan hal itu untuk mencari keuntungan, karena pemerintah telah menganggarkan dana cukup besar bagi kesejahteraan pelaksana pendidikan.

``Anggaran pendidikan kita tahun ini 22 persen atau sekitar 157 miliar dari APBD,`` ucapnya.

Dia merinci, dari total tersebut, alokasi untuk kesejahteraan guru, meliputi gaji dan tunjangan insentif paling tinggi sebesar 13 persen.

Sisanya untuk fisik 2,5 persen, nonfisik 1,5 persen dan operasional sekolah 3 persen. ``Total alokasi untuk kesejahteraan dan gaji guru sekitar 97 miliar,`` katanya.

Dia menambahkan, adanya permintaan kalangan LSM agar kelebihan dana seragam sekolah itu dikembalikan pada orang tua murid akan dibahas dalam rapat bersama kepsek itu.

``Kami akan laporkan hasil rapat itu ke Komisi A akhir pekan depan,`` katanya.

Secara terpisah, Ketua Komisi A DPRD Karimun, M Taufik, berharap agar masalah harga seragam itu segera ditertibkan.

``Kalaupun terjadi perbedaan harga dari pasaran hendaknya dalam batas wajar, jika di pasaran Rp60 ribu/stel, di sekolah dijual Rp70 ribu mungkin masih bisa ditoleransi,`` katanya.(*)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009