Jakarta, (ANTARA News) - Pemerintah diminta tetap mengintensifkan pemantauan penularan virus avian influenza H5N1 (flu burung) serta memetakan sebarannya untuk mencegah terjadinya percampuran dengan virus influenza A (H1N1) yang dikhawatirkan dapat memunculkan jenis virus influenza baru yang lebih ganas dan lebih mematikan.

"Sebab virus influenza A (H1N1) masih labil dan di lingkungan kita kemungkinan masih ada virus AI H5N1. Kalau ada mediator, keduanya bisa bercampur dan memunculkan jenis virus baru yang mungkin lebih ganas," kata Kepala Laboratorium Penelitian Flu Burung Universitas Airlangga Chairil Anwar Nidom ketika dihubungi dari Jakarta, Rabu.

Oleh karena itu, ahli biologi molekuler itu menekankan, pemerintah harus memetakan lagi sebaran virus AI H5N1 pada unggas dan manusia serta mengambil tindakan yang diperlukan untuk mencegah terjadinya percampuran.

"Percampuran bisa terjadi kalau ada mediator, mediatornya bisa tubuh manusia atau tubuh babi. Kalau ada peta sebaran flu burung, pemerintah bisa memaksimalkan pemantauan dan upaya pencegahan di situ supaya kemungkinan terjadinya percampuran bisa diminimalkan," jelasnya.

Ia menambahkan, percampuran antara sub-sub tipe virus influenza A (H1N1) dan H5N1 dapat memunculkan banyak varian virus influenza A yang salah satunya mungkin lebih mematikan dan berpotensi menimbulkan pandemi.

"Kalau sudah begitu, bukan hanya Indonesia saja yang terancam, seluruh dunia juga akan ikut terancam," katanya.

Secara terpisah Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan Tjandra Yoga Aditama mengatakan pemerintah terus memantau penularan influenza A (H1N1) dan berusaha mengendalikan penyebarannya.

"Kami pantau dan analisis dari hari ke hari untuk melihat apakah perlu dilakukan perubahan kebijakan dan strategi penanggulangan," katanya.

Sebelumnya infeksi virus influenza A (H1N1) sudah dinyatakan tidak lebih berbahaya dari virus influenza biasa. Menurut Tjandra, 95 persen penderita flu A (H1N1) tidak memerlukan perawatan medis di rumah sakit dan sembuh dalam waktu rata-rata sepekan.

"Fakta lainnya adalah, sebagian penderitanya meninggal dunia. Tingkat kematian akibat penyakit ini sekitar 0,4 persen, ada 400 orang dari jumlah pasien yang terinfeksi di seluruh dunia yang meninggal dunia. Tapi flu biasa juga berakibat kematian dan fatalitasnya tidak jauh berbeda dengan flu A H1N1," jelasnya.

Sejumlah negara terdampak mulai melonggarkan kegiatan pencegahan. Singapura tidak lagi merawat pasien bergejala ringan di rumah sakit dan memeriksa semua orang yang melakukan kontak dengan pasien.

Amerika Serikat menangani pasien flu A (H1N1) sebagaimana pasien influenza biasa dan Australia tidak lagi memasang alat pemindai suhu tubuh untuk menjaring orang yang diduga terinfeksi.

Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari sebelumnya juga telah mengatakan bahwa pemerintah akan tetap menerapkan prosedur pengendalian influenza A (H1N1) untuk mencegah kemungkinan terjadinya percampuran antara virus influenza A H1N1 dan H5N1.

Sampai 14 Juli 2009, secara kumulatif jumlah kasus influenza A (H1N1) positif sebanyak 112 orang terdiri dari 63 laki-laki dan 49 perempuan.

Kasus tersebut dilaporkan terjadi di Bandung, Banten, DKI Jakarta, Medan, Balikpapan, Surabaya dan Yogyakarta.

Sementara jumlah kumulatif kasus flu burung pada manusia hingga kini sebanyak 145 kasus dengan 119 kematian.

Meski belum ada daerah yang bisa menyatakan benar-benar bebas dari flu burung tapi dalam satu setengah tahun terakhir flu burung tidak lagi ditemukan di sebagian besar daerah yang sebelumnya terjangkit.

Penularan flu burung pada manusia terakhir dilaporkan penularan penyakit flu burung pada manusia hanya terjadi di lima provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten dan Sumatera Barat.(*)

 

Pewarta:
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2009