Semarang (ANTARA News ) - Forum Rektor Indonesia (FRI) meminta semua pihak, terutama peserta yang kalah dalam Pemilu Presiden 2009, untuk tidak melakukan upaya yang mengarah pada delegitimasi hasil pilpres karena risiko politik dan biayanya amat besar.

"Memang masih dijumpai cacat, kekurangan, kesalahan, kekurangtelitian, dan kealpaan dalam penyelenggaraan pilpres, namun tidak ada alasan untuk mendelegitimasi Pilpres 2009," kata Prof. Eko Budihardjo di Semarang, Selasa malam usai mengikuti pertemuan FRI di Jakarta.

Eko yang Ketua Pembina Yayasan Pengembangan Sumber Daya Manusia yang menaungi FRI itu mengatakan segala bentuk pelanggaran yang terjadi selama pilpres memang harus diselesaikan secara hukum dan semua pihak harus mematuhi keputusan yang ditetapkan.

Pertemuan FRI itu antara lain diikuti Prof. Edi Suwandi Hamid (ketua FRI yang juga Rektor UII Yogyakarta), Prof. Djoko Santoso (ITB), Prof. Sofian Effendi (UGM Yogyakarta), dan Prof. Thoby Mutis (Usakti Jakarta).

Eko mengatakan FRI sebagai organisasi masyarakat kampus yang independen, bebas dari berbagai kepentingan politik dan tidak terlibat pertarungan kekuasaan, merasa prihatin atas konflik pascapenghitungan hasil Pilpres 2009 yang disulut para elite politik.

Berpijak pada sudut pandang dan hakikat pilpres sebagai wahana untuk menjaga kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara, menurut Eko, FRI menilai sangat berbahaya bila pilpres dipahami secara sempit.

"Terlalu mahal harganya bila pilpres dinilai sekadar sebagai medan untuk mencari kemenangan semata, atau hanya untuk kepentingan pribadi dan golongan sendiri, namun melupakan kepentingan rakyat," kata Eko, mantan Rektor Undip Semarang itu.

FRI dalam rekomendasinya menghendaki Pilpres 2009 dijadikan pelajaran berharga bagi KPU, Bawaslu, pemerintah, dan masyarakat dalam rangka penguatan demokrasi di Indonesia.

FRI mendesak para elite politik kembali bersatu padu menggalang kekuatan bersama guna memikirkan nasib rakyat, bangsa, dan negara yang masih terpuruk dilanda berbagai musibah.

"Penerapan demokrasi langsung pada bangsa yang majemuk seperti Indonesia harus didukung oleh sistem representasi akomodatif, proporsional terbuka, bukan sistem representasi mayoritas yang biasanya cenderung `the winner takes all` (pemenang mengambil semuanya) sehingga dapat merugikan kerukunan politik bangsa," katanya.

FRI juga mengingatkan presiden terpilih agar menyusun kabinet yang ramping, bukan hanya berdasarkan pertimbangan perimbangan kekuatan parpol pendukung, namun melupakan efisiensi.

"Jumlah menteri di AS dan Malaysia hanya 21, bahkan Jepang hanya diperkuat 17 menteri. Pertimbangkan kembali posisi Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Menpora," kata Eko.

FRI minta pemerintah mengembalikan urusan kebudayaan pada Kementerian Pendidikan, sebab pembangunan budaya merupakan bagian integral dari pembangunan pendidikan.

Pemerintah mendatang juga harus memerangi ekonomi biaya tinggi dengan meningkatkan sinergi hulu dan hilir dan koordinasi antarwilayah guna mengatasi kesenjangan, dengan mengoptimalisasikan fungsi ilmu pengetahuan dan teknologi, kata Eko Budihardjo.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009