Bukittinggi (ANTARA News) - Prof Dr Boediono mengatakan, sejarah memperlihatkan bahwa krisis keuangan kerap terjadi dan sebuah studi mencatat sebanyak 66 negara telah mengalaminya sepanjang 1800 - 2009.

Calon wakil presiden (cawapres) terpilih pada Pilpres 2009 itu saat menjadi pembicara utama dalam Kongres Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) ke XVII di Gedung Pustaka Bung Hatta, Kota Bukittinggi, Sumatera Barat, Jumat malam, mengungkapkan, krisis sering kali bersumber dari pusat keuangan dunia.

Dari pusat keuangan dunia itu, lanjutnya, kemudian menjalar ke penjuru dunia melalui tiga jalur utama, meliputi jalur keuangan, perdagangan dan kepercayaan.

"Jadi, kenaikan harga komoditas penting seperti minyak bumi atau meningkatnya suku bunga referensi utama dunia sering menjadi pemicu krisis global," katanya.

Selain itu, kegagalan negara memenuhi pembayaran kewajibannya juga merupakan gejala yang umum terjadi dalam krisis finansial.

"Krisis selain sifatnya berulang, juga menunjukkan dampak dan pemulihannya memakan waktu lama serta biaya sosial tinggi," katanya.

Boediono menjelaskan, biasanya ada tiga karakteristik utama krisis, pertama jatuhnya harga aset.

Menurut pengalaman di masa lalu pada negara-negara yang mengalami krisis, harga riil rumah turun 35 persen dalam rentang waktu enam tahun. Sementara itu, harga saham turun 55 persen dalam rentang waktu 3,5 tahun.

Karateristik kedua, menurut pengalaman dalam proses penyesuaian, output turun dengan rata-rata sembilan persen selama dua tahun dan tingkat pengangguran naik rata-rata tujuh persen selama empat tahun.

"Di banyak negara berkembang yang tidak memiliki jaringan pengamanan sosial, akibatnya krisis keuangan tingkat kemiskinan naik," katanya.

Karakteristik ketiga, meningkatnya utang akibat dari talangan pemerintah untuk mengatasi dampak krisis.

Menurut mantan Gubernur BI itu, tiga karakteristik itu meninggalkan pesan, krisis selalu memiliki dampak yang dalam dan luas terhadap sektor riil.

Jadi, masa akan datang krisis akan terjadi tetapi tidak bisa diketahui --kapan dan berapa besar dampaknya--, makanya strategi terbaik adalah mempersiapkan diri kita (bangsa) sebaik-baiknya untuk meningkatkan daya tahan.

"Menghadapi krisis yang pasti terjadi, barangkali mirip dengan meningkatkan daya tubuh manusia dengan vaksinasi," katanya.(*)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009