Jakarta (ANTARA News) - Sebuah Lembaga swadaya internasional yang tergabung dalam Uni Global (Global Union) menilai, pemulihan krisis global tidak dapat diselesaikan melalui peningkatan jumlah pinjaman, baik pinjaman kepada pihak asing maupun kepada dalam negeri melalui penerbitan obligasi atau surat utang negara.

"Kita akan memberikan solusi terbaik dalam menyelesaikan masalah krisis ekonomi golabl, dengan jalan tidak memperbesar pinjaman," demikian kesimpulan yang disampaikan Prof. Dr. Takehiko Uemura, guru besar Yokohama City University, Katsuhiko Sato, Sekretaris Regional Asia Pasifik sektor jasa pelayanan publik, Christopher Ng, Sekretaris Regional Uni Asia Pasifik, dan Ambet Yuson, perwakilan dari Building and Wood Wokers International Asia Pasific di Jakarta, Selasa.

Uni Global Asia Pasifik, sebuah asosiasi serikat pekerja internasional yang berpusat di Kanada, melakukan pertemuan selama 2 hari di Jakarta, dalam rangka kampanye serikat pekerja dunia se-Asia Pasifik untuk Internasional Solidarity Levy and MDGs.

Takehiko yang juga menjadi nara sumber dalam pertemuan itu mengatakan, krisis ekonomi saat ini tampaknya terparah dibanding krisis ekonomi yang pernah terjadi sepanjang sejarah. Tujuan Pembangunan Milinium/MDGs, membutuhkan dana lebih dari 50 juta dolar AS per tahun, dan negara-negera selatan, termauk di dalamnya Indonesia, tengah menghadapi krisis makanan dengan kebutuhan akan sebuah suntikan dana sekitar 20 juta dolar AS per tahun, selain 150 juta per tahun untuk perbaikan lingkungan hidup yang didalamnya termasuk pengelolaan air bersih.

Guna mengatasi masalah itu, kata Guru Besar dari Yokohama itu, pemerintah seyogianya jangan meningkatkan jumlah utang, karena justru akan memperdalam krisis ekonomi yang berkepanjangan.

"Kita menawarkan soluisi yakni diperlakukannya pajak (International Solidarity Levy) yakni penarikan pajak kepada orang-orang kaya yang hasilnya diberikan kepada pembukaan lapangan kerja dan menekan jumlah kemiskianan," katanya.

Menjawab pertayaan, ia mengatakan, pajak orang kaya itu dapat dipungut lewat transakis pembelian valas, saham, tiket pesawat dan transaksi elektronik lainnya.

"Pokoknya transaksi yang dilakukan orang kaya wajib dipungut pajak , dan hasilnya dilakokasikan kepada pengurangan kemiskinan,"katanya.

Christopher NG, sekertaris dari Uni Global menambahkan, dalam pertemuan Asia Development Bank (ADB) di Bali bulan silam, lembaga internasional itu menyetujui pinjaman 1 miliar dolar AS kepada Indonesia.

Pinjaman itu dialokasikan untuk membantu program pengentasan kemiskinan. Akan tetapi, bagaimana mungkin jumlah kemiskinan dapat berkurang jika ADB masih memberlakukan bunga pinjaman yang cukup tinggi.

Oleh karena itu, kata Chris, Uni Global ketika itu meminta kepada ADB untuk menekan bunga pinjaman kepada negara berkembang dan mendorong Indonesia untuk segera bergabung dengan Korea Selatan, Jepang dan Kamboja melaksanakan Internasional Solidarity Levy.

"Negara itu sudah mejalankan program pemotongan pajak orang kaya yang khusus dialokasikan untuk bantuan orang miskin," katanya.

Sementara itu, Direktur Sektor Telekomunikasi Uni Global, Dr. Kun A. Wardhana mengatakan, adanya Internasional solidarity Levy, tak akan berdampak negatif kepada investor atau arus wisata yang masuk ke Indonesia.

"Orang kaya itu akan merasa senang membayar pajak jika dananya jelas disalurkan kepada orang miskin dan penganggur. Hal itu sudah dilaksanakan di negara-negara maju, sehingga para penganggur juga mendapat santunan kesehatan dan asuransi lainnya," katanya.

Jika hal itu dilaksanakan pemerintah Indonesia, kata Kun Wardhana, akan dapat menghimpun dana triliunan rupiah, karena saat ini banyak transaksi elektronik belum banyak diberikan pungutan pajak.

"Andaikan ada biaya administrasi, itu baru untuk perusahaan bersangkutan, tetapi belum ada alokasi untuk penanggulangan kemiskinan," katanya.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009