Jakarta (ANTARA News) - RAPBN 2010 mengalokasikan dana cadangan resiko fiskal sebesar Rp5,6 triliun untuk mengatasi kemungkinan munculnya resiko fiskal selama 2010.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Depkeu Anggito Abimanyu di Jakarta, Selasa, menyebutkan, cadangan resiko fiskal disiapkan antara lain untuk menjaga resiko kenaikan harga minyak dunia.

Kenaikan harga minyak dunia tetap berdampak kepada APBN meskipun kenaikan harga minyak akan berdampak kepada peningkatan penerimaan negara.

"Kalau harga minyak naik, penerimaan juga naik, belanja juga naik, nah sekarang kan sudah hampir netral, jadi sebenarnya resiko dari harga minyak tidak terlalu besar," katanya.

Cadangan resiko fiskal biasanya disiapkan oleh pemerintah selain untuk mengatasi resiko kenaikan harga minyak, juga untuk menjaga jika sejumlah asumsi makro meleset dari target yang ditetapkan.

Dalam penyusunan APBN, indikator ekonomi makro yang digunakan sebagai dasar penyusunannya adalah pertumbuhan ekonomi, inflasi, suku bunga SBI 3 bulan, nilai tukar rupiah, harga minyak mentah Indonesia, dan lifting minyak.

Indikator-indikator itu merupakan asumsi dasar yang menjadi acuan penghitungan besaran pendapatan negara, belanja, dan pembiayaan dalam APBN.

Jika realisasi variabel-variabel itu berbeda dengan asumsinya, maka besaran pendapatan, belanja dan pembiayaan dalam APBN juga akan berubah.

Oleh karena itu variasi-variasi ketidakpastian dari indikator ekonomi makro merupakan faktor resiko yang akan mempengaruhi APBN.

RAPBN 2010 menetapkan asumsi pertumbuhan ekonomi sebesar 5,0 persen, tingkat inflasi 5,0 persen, suku bunga SBI 3 bulan 6,5 persen, nilai tukar rupiah Rp10.000 per dolar AS, harga minyak 60 dolar AS per barel, dan lifting 0,965 juta barel per hari.

Sementara besaran penerimaan negara dan hibah ditetapkan sebesar Rp911,5 triliun, belanja negara Rp1.009,5 triliun sehingga terdapat defisit 1,6 persen atau Rp98,0 triliun yang memerlukan pembiayaan.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009