Teheran (ANTARA News/AFP) - Anggota-anggota parlemen Iran hari Rabu mengecam campur tangan AS, Inggris dan Perancis dalam permasalahan dalam negeri Iran dan mendesak pemerintah Teheran mempertimbangkan lagi hubungan dengan negara-negara itu.

Pernyataan itu, yang ditandatangani oleh 215 dari 290 anggota parlemen, disampaikan setelah Iran mengajukan ke pengadilan seorang wanita Perancis dan dua pegawai kedutaan-kedutaan besar Inggris dan Perancis terkait dengan protes setelah pemilihan umum. Persidangan itu telah menimbulkan amarah di negara-negara Uni Eropa.

"Pernyataan yang terburu-buru dan tidak bijak yang disampaikan opleh para menteri luar negeri AS dan Perancis untuk mendukung perusuh pasca-pemilu dan campur tangan oleh kedutaan besar Inggris di Teheran merupakan contoh-contoh nyata mencampuri urusan dalam negeri Iran," kata pernyataan itu, yang dipasang di situs berita parlemen Iran.

"Kami mengecam keras campur tangan kasar ini dan mendesak pemerintah dan presiden menata ulang hubungan dengan negara-negara ini sesuai dengan tingkah laku mereka sehingga mereka tahu tanggapan Iran tidak terbatas pada kata-kata," katanya.

Pernyataan itu tidak menyarankan tindakan-tindakan tertentu yang harus diambil.

Kubu garis keras di Iran menuduh para pendukung oposisi, yang turun ke jalan-jalan untuk memprotes pemilihan kembali Mahmoud Ahmadinejad sebagai presiden, didukung dan diarahkan oleh kekuatan-kekuatan Barat, khususnya AS dan Inggris.

Oposisi yang dipimpin oleh saingan utama Ahmadinejad, Mir Hossein Mousavi, menekankan bahwa pemilihan itu telah dicurangi, dan mereka menolak tuduhan-tuduhan mengenai campur tangan asing.

Sejak pergolakan meletus, pasukan keamanan Iran menindak keras demonstran, dan ratusan pemrotes serta reformis kenamaan, wartawan dan analis ditangkap.

Sebagian besar dari sekitar 2.000 orang yang semula ditangkap telah dibebaskan, namun sekitar 250 orang masih berada dalam penahanan.

Para pemimpin dunia menyuarakan keprihatinan yang meningkat atas kerusuhan itu, yang telah mengguncang pilar-pilar pemerintahan Islam dan meningkatkan kekhawatiran mengenai masa depan negara muslim Syiah itu, produsen minyak terbesar keempat dunia.

Presiden Mahmoud Ahmadinejad, yang telah membawa Iran ke arah benturan dengan Barat selama masa empat tahun pertama kekuasaannya dengan slogan-slogan anti-Israel dan sikap pembangkangan menyangkut program nuklir negaranya, dinyatakan sebagai pemenang dengan memperoleh 63 persen suara dalam pemilihan tersebut.

Para pemimpin Iran mengecam "campur tangan" negara-negara Barat, khususnya AS serta Inggris, dan menuduh media asing, yang sudah menghadapi pembatasan ketat atas pekerjaan mereka, telah mengobarkan kerusuhan di Iran.

Mantan Presiden Akbar Hashemi Rafsanjani mengecam propaganda yang dilakukan media asing mengenai pergolakan kekuasaan di jajaran tinggi kepemimpinan Iran.

"Propaganda yang dilakukan media asing yang berusaha mengisyaratkan bahwa terjadi pergolakan kekuasaan di tingkat puncak pemerintahan merupakan hal yang tidak adil sama sekali bagi revolusi Islam," kata Rafsanjani.

Pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei menghadapi krisis terbesar Iran sejak revolusi Islam 1979 setelah protes luas yang terjadi setelah pemilihan kembali Mahmoud Ahmadinejad pada 12 Juni menewaskan puluhan orang.

Khamenei mengecam protes itu dan memberikan dukungan tanpa syarat kepada Ahmadinejad dan mengumumkan bahwa pemilihan itu sah, meski dipersoalkan banyak pihak.

Iran telah melarang media asing meliput pawai-pawai protes dan pertemuan yang diadakan oleh gerakan oposisi.

Kementerian Luar Negeri Iran bahkan menunjuk langsung lembaga-lembaga siaran global seperti BBC dan Voice of America, dengan mengatakan bahwa mereka adalah agen-agen Israel yang bertujuan "memperlemah solidaritas nasional, mengancam integritas bangsa dan mendorong disintegrasi Iran".(*)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009