Selalu saya tekankan, fiskal itu instrumen, dia bukan tujuan tapi tidak berarti kita ugal-ugalan
Jakarta (ANTARA) - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah menyampaikan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) Semester II-2019 kepada lembaga perwakilan dan pemerintah.

Laporan ini merupakan bukti bahwa program prioritas pembangunan nasional telah direncanakan, dilaksanakan, dan dilaporkan, secara transparan oleh pemerintah.

Dalam penyampaian IHPS tersebut, BPK menyampaikan terdapat 13 hasil pemeriksaan kinerja pada pemerintah pusat yang menjadi sorotan penting.

Menurut BPK, apabila permasalahan yang ditemukan dalam pelaksanaan kegiatan pemerintah tersebut tidak diatasi, maka dampaknya dapat mempengaruhi efektivitas kegiatan.

Salah satu hasil pemeriksaan kinerja itu adalah pengelolaan utang pemerintah pusat yang dinilai kurang efektif untuk menjamin biaya minimal dan risiko terkendali serta kesinambungan fiskal.

Terdapat temuan antara lain kebijakan pengembangan Surat Berharga Negara (SBN) serta dampaknya terhadap pencapaian pasar SBN yang dalam, aktif, dan likuid, yang masih memiliki kelemahan.

Kemudian pengelolaan utang belum didukung manajemen risiko keuangan negara dan penerapan Fiscal Sustainability Analysis (FSA) termasuk Debt Sustainability Analysis (DSA) secara komprehensif.

Ketua BPK Agung Firman Sampurna mengatakan minimnya regulasi risiko tersebut berpotensi menimbulkan gangguan atas keberlangsungan fiskal di masa mendatang.

Selanjutnya pemanfaatan utang untuk kegiatan produktif tidak memiliki parameter dan indikator pencapaian karena pemerintah belum memiliki laporan pertanggungjawaban atas kebijakan pemanfaatan utang.

Selain itu, definisi dan indikator kegiatan produktif dalam pemanfaatan utang selama ini belum jelas diungkap dalam dokumen perencanaan pemerintah.

Berbagai temuan dalam audit itu tentu menjadi bahan masukan yang menarik terutama bagi pihak-pihak yang terkait langsung dengan pengelolaan utang.

Publikasi ini juga mengingatkan bahwa segala hal yang berkaitan dengan keuangan negara harus berlangsung dengan asas akuntabilitas agar hasil akhirnya bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat.

Temuan itu menjadi relevan karena seluruh dunia saat ini, termasuk Indonesia, sedang menghadapi pandemi COVID-19 yang dampaknya melumpuhkan sendi-sendi perekonomian.

Untuk mengatasi COVID-19, maka pemerintah melalui Perppu Nomor 1 Tahun 2020, yang telah disetujui menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020, memutuskan untuk memperlebar defisit anggaran.

Berdasarkan Perpres 54 Tahun 2020 pemerintah telah memperlebar defisit anggaran hingga 5,07 persen terhadap PDB atau lebih dari batas tiga persen sesuai UU Nomor 17 Tahun 2003.

Pelebaran ini dilakukan agar pemerintah mempunyai dana yang mencukupi untuk penanganan COVID-19 senilai Rp405,1 triliun.

Dana itu dibutuhkan untuk penanganan kesehatan Rp75 triliun, Jaring Pengaman Sosial Rp110 triliun, insentif perpajakan dan stimulus Kredit Usaha Rakyat (KUR) Rp70,1 triliun, dan Pemulihan Ekonomi Nasional Rp150 triliun.

Dalam perkembangan terakhir, defisit itu diperkirakan melebar hingga 6,27 persen terhadap PDB, karena rendahnya realisasi pertumbuhan triwulan I-2020 serta adanya tambahan realokasi anggaran.

Baca juga: Utang Luar Negeri Indonesia triwulan I-2020 sebesar 389,3 miliar dolar


Tata kelola

Tema soal pengelolaan utang selalu menjadi bahasan menarik pada momen-momen tertentu, seperti misalnya menjadi bahan perbincangan politik jelang pemilu, karena ketakutan dengan makna utang itu sendiri.

Dari sisi ekonomi politik, utang dianggap momok menakutkan karena pihak yang menjadi debitur bisa memiliki rasa ketergantungan politik yang tinggi kepada sang peminjam.

Namun pemerintah berkali-kali menjamin bahwa pengelolaan utang dan pembiayaan tersebut dimanfaatkan sepenuhnya untuk kegiatan produktif bukan konsumtif belaka.

Selain itu, utang itu dibutuhkan untuk menutup defisit anggaran, mengingat sumber pendapatan negara dari sektor pajak tidak sepenuhnya mencukupi untuk membiayai program pemerintah.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah memastikan pemerintah tidak ugal-ugalan dalam mengelola utang, termasuk untuk pembiayaan program penanganan COVID-19.

"Jadi dalam mengelola keuangan negara, kita tidak hanya melihat satu rumus, satu kebutuhan dan tujuan. Selalu saya tekankan, fiskal itu instrumen, dia bukan tujuan tapi tidak berarti kita ugal-ugalan," ujarnya.

Sri Mulyani menjelaskan pembiayaan tersebut dibutuhkan karena dalam situasi ekonomi saat ini kebutuhan belanja yang dibutuhkan sangat besar, padahal penerimaan negara merosot.

Begitu juga ketika belum ada wabah COVID-19, lanjut dia, belanja pemerintah dan tambahan utang digunakan salah satunya untuk peningkatan infrastruktur dan menurunkan tingkat kemiskinan.

Terkait dengan hasil analisis BPK itu, mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini menghormati hal itu sebagai pengingat untuk tetap berhati-hati dalam mengelola utang.

"Jadi kita hormati saja, analisa itu baik bagi kita, mengingatkan kita supaya terus hati-hati," ujar Sri Mulyani.

Dengan melebarnya defisit anggaran dari semula 5,07 persen atau Rp852,9 triliun menjadi Rp1.028,5 triliun atau 6,27 persen, maka pembiayaan dari Surat Berharga Negara (SBN) juga makin meningkat.

Untuk bisa mendanai defisit tersebut maka direncanakan pembiayaan dan pengadaan surat berharga, yang sudah diatur dalam Perppu dan SKB antara Kemenkeu dan Bank Indonesia.

Sri Mulyani memastikan pelebaran defisit fiskal yang kembali dilakukan itu untuk mendukung implementasi program Pemulihan Ekonomi Nasional, mengingat pendapatan negara yang turun.

Dalam outlook APBN 2020, Menkeu menyebutkan pendapatan negara diperkirakan berkurang Rp69,3 triliun, dari Rp1.760,9 dalam Perpres 54 tahun 2020 menjadi Rp1.691,6 triliun.

"Karena begitu banyak insentif pajak yang diberikan dari pelemahan ekonomi di semua sektor," katanya.

Sedangkan pemerintah menambah belanja negara mencapai Rp106,3 triliun yakni tambahan subsidi untuk UMKM Rp34,2 triliun dan diskon listrik diperpanjang menjadi enam bulan Rp3,5 triliun.

Kemudian bansos tunai diperpanjang hingga Desember 2020 dengan bantuan menjadi Rp300 ribu per bulan sehingga total sebesar Rp19,62 triliun dan cadangan stimulus Rp60 triliun.

Sementara itu realisasi penerbitan SBN secara neto hingga akhir April 2020 telah mencapai Rp376,5 triliun yang mencakup penjualan dari Global Bonds senilai 4,3 miliar dolar AS.

Dengan realisasi tersebut, maka pemerintah berupaya untuk memenuhi target pembiayaan melalui lelang di pasar domestik, penerbitan SBN ritel, private placement, dan penerbitan SBN valas.

Jika penghitungan awal belum mengalami perubahan, maka lelang SBN rutin per dua minggu periode triwulan II hingga triwulan IV-2020 diproyeksikan mencapai Rp35 triliun-Rp45 triliun.

Baca juga: DPR imbau pemerintah tingkatkan efektivitas pengelolaan utang negara


Kewaspadaan

Dengan kondisi itu pemerintah dapat menghadapi risiko pembiayaan karena ke depannya tidak hanya wajib menutup defisit anggaran, namun juga menanggung pembiayaan utang jatuh tempo serta pembiayaan non-utang.

Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abdul Manap Pulungan mengatakan pemerintah perlu mengantisipasi pembayaran utang apabila penanganan COVID-19 telah usai.

Untuk menutupi biaya utang, lanjut dia, maka pemerintah diperkirakan akan berutang kembali karena pendapatan negara merosot, sehingga berpotensi mempengaruhi fiskal APBN tahun-tahun mendatang.

"Kalau itu defisit artinya kita bayar utang lewat gali utang. Jadi kita membayar utang tahun depan itu dengan menerbitkan SBN tahun ini," imbuh peneliti makro ekonomi dan keuangan Indef itu.

Untuk mendongkrak penerimaan negara dari pajak, ia mendorong pemerintah menggali lebih optimal dari perusahaan teknologi informasi berbasis digital, termasuk perdagangan dalam jaringan atau e-commerce.

Tak hanya itu, lanjut dia, pajak penghasilan pribadi khususnya kelas atas yang belum terdata perlu digenjot, termasuk memastikan dana hasil pengampunan pajak tidak keluar dari Indonesia.

Abdul juga mendorong penerbitan utang perlu didukung pengelolaan risiko keuangan negara seperti yang disampaikan sebelumnya oleh BPK.

Pendapat serupa juga diungkapkan Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine Kosijungan yang mengharapkan pemerintah waspada terhadap peningkatan defisit anggaran.

Penambahan biaya melalui penerbitan SBN itu dapat menimbulkan dampak negatif apabila pemanfaatannya tidak berjalan efektif dan tepat sasaran.

Oleh karena itu ia mengharapkan stimulus fiskal itu didukung oleh kontribusi dari sisi moneter maupun sektoral agar penanganan kesehatan maupun pemulihan ekonomi dapat berjalan dengan cepat.

"Efektifnya penambahan anggaran juga perlu didukung oleh kelancaran rantai pasok dan ketersediaan barang-barang kebutuhan pokok masyarakat di pasaran," ujarnya.

Pelaksanaan kebijakan dengan tepat sasaran itu penting mengingat tujuan untuk menambah utang adalah menjaga agar masyarakat tidak terdampak sepenuhnya dari COVID-19.

Tentu saja, munculnya pandemi ini menjadi ujian besar bagi para pemimpin agar keputusan yang dihasilkan bisa menjaga tingkat kewarasan masyarakat serta kegiatan ekonomi kembali menggeliat.

Namun keputusan ini bisa menjadi bumerang di kemudian hari, terutama apabila pemerintah mengabaikan rambu-rambu dalam pengelolaan utang, dengan alasan demi kebaikan bersama.


Baca juga: Pemerintah segera tetapkan revisi pelebaran defisit 6,27 persen
 

Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2020