Denpasar (ANTARA News) - Puluhan seniman Bali memprotes tindakan Malaysia yang terkesan mengklaim tari Pendet Bali atau tari selamat datang untuk iklan oleh negeri jiran itu.

Protes yang dipimpin Gurubesar Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar Prof Wayan Dibia, MA disampikan kepada Ida Ayu Agung Mas, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD-RI) di Taman Budaya Denpasar, Sabtu.

Tari Pendet yang dibawakan wanita berbusana adat Bali ditayangkan berkali-kali dalam iklan Visit Malaysia Year, padahal sesungguhnya jenis tarian tersebut merupakan warisan budaya Bali secara turun temurun.

"Berdasarkan pengamatan kami, penari Pendet dalam iklan tersebut merupakan alumnus ISI Denpasar yang bernama Lusia dan Wiwik. Pengambilan gambar tersebut dilakukan oleh Bali Record sekitar dua hingga tiga tahun lalu," ujar Prof Dibia.

Untuk itu, kepada pemerintah ia menyerukan protesnya agar dapat mempertahankan produk kesenian yang ada untuk kembali didata dan didaftarkan sehingga tidak mudah diklaim oleh negara lain.

"Tari Pendet merupakan bagian dari warisan budaya kita, yang mana dalam tarian tersebut menampilkan nilai-nilai seni dan simbol-simbol budaya yang hanya dimiliki oleh tradisi budaya Hindu-Bali," katanya.

Sementara anggota DPD RI asal Bali Ida Ayu Agung Mas merasa sangat prihatin atas klaim yang dilakukan Malaysia terhadap tari Pendet yang sejatinya merupakan bagian dari warisan budaya adiluhung Bangsa Indonesia.

"Sebagai wakil rakyat, kami akan sangat mendukung bentuk protes ini dan secepatnya akan menyampaikan kepada pemerintah Malaysia," kata Agung Mas.

Ia juga mengatakan bahwa pemerintah punya peran penting untuk mendata dan mendaftarkan kembali budaya-budaya yang terpencar, sehingga nantinya tidak akan mudah diklaim negara lain.

Menurut dia, hal tersebut harus ditindaklanjuti dengan serius mengingat Malaysia telah beberapa kali melakukan klaim terhadap budaya Indonesia.

Dalam kesempatan tersebut juga dilakukan demontrasi pementasan tari Pendet oleh penari senior Arini dan dua orang cucunya yakni Gung Cahya (8) dan Gung Ari (5).(*)

Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009