Arlington, Virginia (ANTARA News/AFP) - Singa Partai Demokrat Edward Kennedy dipersatukan dengan jasad saudara-saudaranya di sebuah pemakaman di Virginia begitu peniup terompet kematian menyibakkan tirai jatuhnya sebuah dinasti politik di AS.

Dikelililngi oleh keluarga elitenya yang mendomiansi politik AS selama setengah abad, jasad Ted Kennedy disemayamkan di Taman Makam Pahlawan Arlington, Sabtu waktu AS, untuk beristirahat selamanya di bukit yang menghadap ke ibukota negara AS itu.

Mendiang senator itu dikuburkan hanya 100 kaki (30 meter) dari makam abangnya, Robert Kennedy, yang dibunuh pada 1968, dan berdekatan dengan api abadi yang menyala di atas makam di mana Presiden John F. Kennedy, yang dibunuh pada 1963.

Tiga hari penuh emosi meliputi bangsa Amerika yang menyampaikan perpisahan terakhir kepada orang yang menjadi tempat bernaung dinasti Kennedy dan menghabiskan 47 tahun masa hidupnya tanpa lelah untuk menjadi senator AS demi menyemangati kehidupan yang lainnya.

Di tengah misa Katolik di Boston, Presiden Barack Obama, yang memperoleh dukungan sangat berarti dari Ted Kennedy untuk pencalonannya sebagai Presiden AS, menyampaikan pepujian bahwa Ted adalah "Singa Senat."

Obama, tiga mantan presiden AS dan tokoh-tokoh elite AS berkumpul di Basilika Our Lady of Perpetual Help, Boston, untuk menyampaikan perpisahan terakhir kepada sang patriakh keluarga Kennedy itu, yang Selasa lalu tidak mampu melawan serangan kanker otak di usianya yang ke-77 itu.

Obama memuji Ted Kennedy sebagai "pahlawan untuk mereka yang papa, jiwa Partai Demokrat, dan Singa-nya Senat AS."

"Beliau adalah produk sebuah masa dimana kegembiraan dan kemuliaan politik memupus perbedaan partai, platform dan filosofi yang menjadi penghambat kerjasama dan saling menghormati, di saat musuh-musuh masih saling mengklaimnya diri mereka pahlawan," kata sang presiden.

Setelah misa itu, peti jenazah Ted Kennedy berbalut bendera nasional AS itu diterbangkan ke Washington dalam perjalanannya menuju persinggagan terakhirnya setelah sejak Kamis dibawa dari Cape Cod.

Ribuan orang mengantar kepergiannnya, seperti terjadi tiga hari lalu di rumahnya di Hyannis Port dan kemudian di Boston dimana orang berkerumun di makam Ted Kennedy.

Di luar gedung Capitol, kumpulan manusia meledak ke dalam aplaus panjang begitu prosesi pemakaman berakhir di persinggahan terakhir sang senato ke gedung wakil rakyat AS itu.

Para anggota dinasti Irlandia Amerika itu bercucuran air mata selama misa manakala sang putera, Ted Kennedy Jr, menyampaikan cerita kelembutan ayahnya selama dia masih kecil saat mana kakinya diamputasi gara-gara kanker.

"Beliau mengajari kami bahwa kehilangan paling besar kami pun tetaplah lestari," kata Ted Kennedy Jr.

"Beliau mengajariku tak ada yang tidak mungkin. Beliau bukan manusia sempurna, jauh dari itu. Namun ayahku itu percaya pada penebusan dosa dan dia tidak pernah menyerah, tak pernah berhenti mencoba membetulkan yang salah, menjadikan yang salah itu menjadi kekeliruannya, kekeliriuan kita," lanjut Ted Jr.

Kendati banyak orang Amerika tidak menyukai pandangan politik kiri darinya, kepergian sang senator menjadi peristiwa nasional yang menyiratkan berakhirnya era setengah abad keluarganya yang legendaris yang pengaruhnya sangat kuat terhadap Partai Demokrat.

Empat dekade lalu, saat pemakaman JFK, ribuan orang berbaris dari Lincoln Memorial di Washington sampai Arlington Memorial Bridge, bertepuk tangan sebagai tanda penghormatan terakhir kepada mendiang presiden AS itu.

Dan kini, di atas taburan sinar matahari, suara sang senator masih terdengar dibawa debu tanah yang mengubur jasadnya manakala surat terakhirnya kepada Paus Benediktus XVI dibacakan di situ.

"Penyakit ini membuatku menderita," akunya kepada Paus, seraya menyatakan dia siap mengarungi kehidupan berikutnya."

Vatican menjawab bahwa Paus "bersedih karena mengetahui penyakit Anda dan meminta saya untuk menjamin Anda bahwa Paus prihatin dan memiliki kedekatan spiritual." Paus Benediktus meminta Ted Kennedy tetap tabah, berharap dan berpasrah kepada kehendak Tuhan. (*)

Pewarta:
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2009