Padang (ANTARA News) - Pengamat sejarah, Prof Dr Muchlis Muchtar mengatakan, dua tokoh pejuang asal Sumatra Barat, yakni Sjafruddin Prawiranegara dan Mr Assaat pernah menjabat sebagai Presiden Indonesia di masa revolusi fisik, namun nama mereka tidak pernah disebutkan dalam daftar nama Presiden RI karena kealpaan.

Dalam daftar nama-nama Presiden RI hanya terdapat delapan nama presiden, padahal seharusnya sepuluh nama, kata Muchlis di Padang, Rabu.

Padahal, menurut dia, dalam fakta sejarah dua tokoh asal Sumbar yakni Sjafruddin Prawiranegara dan Mr Assaat yang terlewatkan dan tidak disebutkan namanya dalam daftar nama-nama Presiden RI.

Terlewatkannya nama dua tokoh pejuang asal Sumbar itu, mungkin karena alpa, tetapi mungkin juga disengaja, tambahnya.

Ia menjelaskan, Sjafruddin Prawiranegara pernah menjabat sebagai Presiden merangkap menteri pertahanan, penerangan dan luar negeri ad interim pada pada Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dari tanggal 22 Desember 1948 hingga 13 Juli 1949.

PDRI, katanya, dibentuk untuk menyelamatkan pemerintahan RI pasca agresi militer Belanda ke II pada 19 Desember 1948 atas ibukota RI Yogyakarta dan menahan Presiden dan Wakil Presiden RI, Soekarno/Hatta.

Saat dalam penangkapan itu, Presiden Soekarno mengirim telegram kepada Sjafruddin Prawiranegara yang saat itu menjabat sebagai Menteri Kemakmuran RI dan tengah berada di Bukittinggi, Sumatra Barat.

Dalam telegramnya, Presiden Soekarno menyebutkan, jika dalam keadaan pemerintah tidak dapat menjalankan kewajibannya lagi, maka kami (Soekarno/Hatta) menugaskan Mr Sjafruddin Prawiranegara membentuk pemerintahan darurat di Sumatra.

Dalam situasi itu, Sjafruddin dan tokoh-tokoh bangsa lainnya di Sumatra membentuk PDRI untuk menyelamatkan negara RI yang dalam keadaan berbahaya karena tengah terjadi kekosongan kepala pemerintahan yang menjadi salah satu syarat internasional untuk diakui sebagai negara.

PDRI diproklamasikan, 22 Desember 1948 di Desa Halaman, sekitar 15 Kilometer dari Payakumbuh dan Sjafruddin Perwiranegara menjabat sebagai Presiden merangkap menteri pertahanan, penerangan dan luar negeri ad interim.

Jabatan itu berakhir setelah Sjafruddin menyerahkan kembali mandatnya kepada Presiden RI, Soekarno yang kembali ke Yogyakarta pada 13 Juli 1949, sekaligus berakhir pula riwayat PDRI.

Sementara itu, Mr Assaat pernah dipercaya menjabat Pemangku sementara jabatan Presiden Republik Indonesia (RI) pada periode 27 Desember 1949 hingga 15 Agustus 1950.

Jabatan itu diamanatkan kepada Mr Assaat, setelah perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) 27 Desember 1949 dimana pemerintah Belanda menyerahkan kedaulatan Indonesia kepasa pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS).

RIS merupakan negara serikat terdiri dari 16 negara bagian dan salah satunya adalah Republik Indonesia (RI) yang saat itu dipimpin pemangku sementara jabatan Presiden, Mr Assaad.

Jabatan tersebut dipangku Mr Assaat, karena Soekarno dan Mohammad Hatta ditetapkannya sebagai Presiden dan Wakil Presiden RIS, sehingga terjadi kekosongan pimpinan di RI.

Menurut Muchlis Muchtar, pada saat kekosongan pimpinan RI itu, Mr Assaat tampil sebagai Pemangku sementara jabatan Presiden RI sekaligus mempertahankan kedaulatan RI.

Peran dilakukan Mr Assaat saat penting, karena jika RI tanpa pimpinan, berarti ada kekosongan dalam sejarah Indonesia dimana RI pernah hilang dalam perjalanan bangsa ini, tambahnya.

Jabatan Mr Assaat sebagai pemangku sementara jabatan Presiden RI, berakhir setelah Belanda dan dunia internasional mengakui kembali kedaulatan RI dan RIS dilebur menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (RIS) pada 15 Agustus 1950.

Dengan pengakuan NKRI maka Soekarno dan Mohammad Hatta kembali ditetapkan menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI, sekaligus berakhir pula jabatan Mr Assaat sebagai pemangku sementara jabatan Presiden RI.(*)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009