Jakarta (ANTARA News) - Fahmi Badoh, Koordinator Bidang Korupsi dan Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) mengatakan, rencana Komisi XI DPR untuk menggunakan mekanisme voting tertutup pada pemilihan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang dimulai 7 September mendatang sangat berpotensi terjadi suap.

"Potensi suap dan KKN pada sistem voting tertutup sangat terbuka lebar. Seharusnya anggota Komisi XI DPR mempunyai `political will` untuk menghindari setiap bentuk keputusan yang berbau suap walaupun tata tertib memungkinkan untuk itu," katanya di Jakarta, Rabu.

Ia mengatakan, voting tertutup akan menghilangkan nilai seleksi itu sendiri apalagi jika tidak ada preferensi yang dibuat sendiri oleh Komisi XI untuk mengukur pilihannya.

"Kalau tetap dilakukan, maka hal itu makin menguatkan dugaan seleksi ini lebih bersifat politis daripada sebagai wadah untuk menghasilkan anggota BPK yang berkualitas," katanya.

Menjelang proses pemilihan anggota BPK dikuatirkan terjadi suap dan kompromi-kompromi yang dilakukan para kandidat anggota BPK ke Komisi XI DPR. Selain itu, Komisi XI DPR juga ditengarai lebih memilih rekan-rekannya yang akan pensiun dan melamar menjadi anggota BPK.

Fahmi justru lebih menghargai sikap DPD yang melakukan seleksi lebih terbuka bahkan mengumumkan tujuh nama yang direkomendasikan untuk dipilih oleh Komisi XI DPR.

Tujuh nama calon anggota DPD yang "sangat direkomendasikan" DPD itu adalah Syafri Adnan Baharuddin (mantan Direktur Pengawasan Keuangan Daerah BPKP), Sugiharto (mantan Menteri Negara BUMN), Soepomo Prodjoharjono (anggota Tim Pedoman Pemeriksaan BPK), Djoko Susanto (dosen Universitas Padjajaran dan UGM), Bambang Pamungkas (Direktur Fasilitas Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah Depdagri).

Dua lainnya adalah Teuku Radja Sjahnan (konsultan publik financial management World Bank), dan Daeng Mochamad Nazier (Kepala Direktorat Utama Perencanaan, Evaluasi, Penelitian, dan Pengembangan BPK).

Fahmi Badoh mengatakan, "Daerah sangat berkepentingan, BPK diisi oleh orang-orang yang berkompenten dan independen karena hasil audit BPK menjadi tolok ukur pengelolaan keuangan daerah".

Oleh karena itu, ia mewanti-wanti agar posisi BPK jangan hanya dijadikan tempat penampungan bagi pensiunan DPR apalagi mereka tidak mempunyai kompetensi dibidang audit dan keuangan.

Hal senada dengan pengamat kebijakan publik, Ichsanudin Noorsy, bahwa selama ini sudah ada jalur karir bagi mantan anggota DPR termasuk sebagai anggota BPK sehingga tidak aneh jika DPR membuat aturan untuk seleksi angota BPK dengan voting tertutup.

"Ini memang ada standar ganda, karena pemilihan Ketua DPR saja dilakukan dengan voting terbuka, tetapi untuk anggota BPK ini dilakukan voting tertutup," katanya.

Ia mengatakan, seleksi anggota BPK itu sebenarnya hanya formalitas. "Ini seperti formalitas saja dan saya sangat kecewa karena banyak calon yang mempunyai rekam jejak dalam kasus korupsi tetapi kemungkinan akan tetap dipilih," katanya.

Ia mengungkapkan, mempunyai catatan rekam jejak sejumlah koruptor dan sudah dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Sebelumnya, DPD juga melakukan "fit and proper test" terhadap calon anggota BPK tersebut dan telah menetapkan tujuh nama yang sangat direkomendasikan ("highly recommended") dari 14 nama yang direkomendasikan sebagai anggota BPK.

Komposisi pelamar anggota BPK yang akan diseleksi Komisi XI DPR yaitu 8 orang dari kalangan DPR, 16 orang dalam BPK, 3 pensiunan, 1 BIN, 1 Akuntan, 4 dosen, 1 guru, 1 staff ahli wapres, 1 BPS, 1 eks menteri, 2 eks pimpinan KPK, 2 Depdagri, 1 LIPI, 1 KPPN, 2 konsultan, 1 Staf Ahli DPR/Eks BPK dan 5 swasta.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009