Jakarta (ANTARA News) - DPR akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) Perfilman menjadi undang-undang dalam sidang paripurna di gedung parlemen di Jakarta, Rabu.

Delapan dari sembilan fraksi menyetujui RUU Perfilman menjadi undang-undang sebagai pengganti UU No.8/1992 tentang Perfilman dalam Sidang Paripurna yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR, Muhaimin Iskandar.

Sedangkan satu fraksi yaitu fraksi PDI Perjuangan menolak atau tidak menyetujui mengesahkan RUU tersebut menjadi undang-undang.

Juru bicara fraksi PDI Perjuangan, Deddy Sutomo yang membacakan pendapat akhir fraksinya mengatakan karena keterbatasan waktu pembahasan RUU Perfilman pada pembahasan tingkat I, maka banyak masukan dan saran dari pemangku kepentingan film yang diakomodir.

"Masih banyak pasal yang kurang sesuai dengan pembentukan awal RUU Perfilman. RUU ini sudah lebih baik dibandingkan UU Perfilman tapi belum jadi RUU yang ideal untuk sepenuhnya diterima oleh fraksi PDI Perjuangan," kata Deddy.

Oleh karena itu, fraksi bergambar banteng itu merekomendasikan RUU Perfilman untuk dibahas oleh anggota DPR masa mendatang.

Sedangkan Ketua Komisi X DPR RI yang membahas RUU Perfilman, Irwan Prayitno mengatakan RUU tersebut telah disepakati dan disetujui pada pembahasan tingkat I untuk dibawa ke Sidang Paripurna.

RUU Perfilman itu sendiri telah dibahas sebanyak 12 kali oleh tim panitia kerja (panja), dan oleh tim perumus dan tim sinkronisasi telah melalui rapat dengar pendapat dengan para pemangku kepentingan film dan tokoh perfilman, serta uji publik di empat propinsi.

Irwan melanjutkan pihaknya juga telah mengakomodir berbagai masukan dari Persatuan Artis dan Film (Parfi), Komisi Nasional Perlindungan Anak, Badan Pertimbangan Film Nasional, Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia, dan Masyarakat Perfilman Indonesia.

Hal-hal penting yang terdapat pada RUU Perfilman, lanjut Irwan, antara lain mengenai teknologi digital perfilman, masyarakat perfilman non komersial, mendorong produksi film nasional, larangan praktik monopoli, penyederhanaan perijinan perfilman dan memperjelas definisi sensor dan swa sensor.

Sedangkan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Mendudpar) Jero Wacik yang menyampaikan pendapat akhir pemerintah mengatakan RUU Perfilman tersebut telah mengakomodir semua aspek mengenai perfilman.

"Bila ada yang tidak puas, itu wajar dalam kehidupan berdemokrasi," katanya.

Dia membantah bahwa UU Perfilman yang baru ini akan mematikan kreatifitas seperti yang ditakutkan oleh masyarakat perfilman.

"Kami rasa pasal-pasal yang ditakutkan itu malah merupakan jaminan dan niat tulus kita untuk tidak mengebiri kreatifitas. Karena film tanpa kreatifitas akan membosankan," katanya.

Justru, lanjutnya, undang-undang perfilman yang baru ini menjadi pondasi bagi pengembangan perfilman Indonesia.

Sidang paripurna ke-6 DPR RI tersebut juga dihadiri oleh masyarakat perfilman Indonesia seperti Slamet Rahardjo Djarot, Mira Lesmana, Riri Riza, Jajang C Noer dan Nia Dinata yang menolak pengesahan RUU Perfilman.

Mereka merasa UU Perfilman yang baru tersebut justru akan mematikan perfilman nasional yang mulai tumbuh, mematikan kreatifitas dan lebih banyak mengatur mengenai tata niaga perfilman.
(*)

Pewarta:
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2009