Kirkuk, Irak (ANTARA News/AFP) - Seorang istri polisi Kurdi dan tiga anak belia dibunuh dalam gaya eksekusi ketika mereka sedang tidur pada Minggu pagi di kota minyak Kirkuk, Irak utara, kata seorang perwira polisi senior kepada AFP.

Polisi itu sedang bekerja ketika orang-orang bersenjata tak dikenal memasuki rumah keluarganya dan melepaskan satu tembakan ke kepala setiap korban, kata Kolonel Sherzad Mofri, yang menambahkan bahwa anak-anak yang menjadi korban itu berusia tiga, enam dan sembilan tahun.

"Mereka membunuh istri dan tiga anak saya yang sedang tidur di samping ibu mereka," kata Mofri.

Ia menyatakan bahwa penyelidikan masih dilakukan untuk mengetahui alasan dari pembunuhan yang disebutnya eksekusi berdarah dingin itu.

Tidak ada tanda-tanda perlawanan dari para korban dalam serangan itu, kata Mofri.

Perwira polisi itu menambahkan bahwa ia sebelumnya tidak pernah melihat atau mendengar serangan bertarget yang brutal seperti itu -- serangan dengan sasaran yang dilakukan pada satu keluarga di Kirkuk.

Pembunuhan-pembunuhan itu terjadi di daerah Banjar di kota tersebut, sebuah daerah dimana orang-orang Kurdi yang dideportasi oleh almarhum Saddam Husein demi mendapatkan dukungan dari Arab Sunni pulang kembali dan membangun rumah mereka setelah penggulingan mantan presiden Irak itu dalam invasi pimpinan AS pada 2003.

Dalam kekerasan lain, Minggu, empat prajurit Irak, satu diantaranya seorang perwira, tewas ketika gerilyawan menyerang patroli mereka di daerah sekitar 35 kilometer sebelah selatan Kirkuk.

Dua gerilyawan juga tewas dalam bentrokan tersebut, kata polisi.

Sebelumnya Minggu, seorang perwira Irak tewas di Kirkuk ketika sebuah bom rakitan meledakkan patrolinya di daerah Rahimawa, kata seorang pejabat keamanan kepada AFP.

Kirkuk memiliki penduduk yang mencakup orang Arab, Kurdi dan Turkmen, dan ketegangan masih tinggi antara pemerintah pusat di Baghdad dan wilayah otonomi Kurdistan di Irak utara mengenai kendali atas provinsi yang dipersoalkan itu, di tengah kekhawatiran bahwa konflik akan meletus.

Kirkuk, seperti juga daerah-daerah lain Irak utara, menjadi tempat persembunyian gerilyawan muslim Sunni Al-Qaeda, yang dituduh bertanggung jawab atas sebagian besar pemboman di Irak, setelah kelompok militan itu dihalau dari Baghdad dan provinsi Anbar, Irak barat.

Kota Kirkuk dan provinsi sekitarnya menjadi salah satu daerah Irak yang dilanda kekerasan paling buruk. Bulan lalu, sebuah bom di dekat pasar yang ramai menewaskan lima orang dan mencederai 30 lain.

Para pejabat AS dan PBB berusaha menengahi sebuah komporomi antara Baghdad dan Kirkuk, namun tidak banyak kemajuan yang dicapai sejauh ini.

Pada Agustus, Perdana Menteri Irak Nuri al-Maliki, seorang Arab Syiah, dan Masoud Barzani, presiden pemerintah regional Kurdistan, mengadakan pertemuan yang langka yang diharapkan menjadi awal dari akhir perselisihan panjang menyangkut tanah dan minyak.

Peredaan ketegangan itu dianggap sangat penting ketika pasukan AS, yang menjadi penengah antara orang-orang Kurdi dan Arab dalam setahun ini, bersiap-siap meninggalkan Irak sepenuhnya sebelum 2012.

Militan muslim diyakini memanfaatkan ketegangan di daeah-daerah yang diklaim kedua kubu untuk merongrong keamanan Irak.

Korban-korban terakhir itu berjatuhan setelah jumlah kematian akibat kekerasan di Irak mencapai angka tertinggi dalam 13 bulan pada Agustus, yang menambah kekawatiran mengenai stabilitas di negara itu setelah pemerintah mengakui keamanan memburuk.

Rangkaian serangan dan pemboman sejak pasukan AS ditarik dari kota-kota di Irak pada akhir Juni telah menimbulkan pertanyaan mengenai kemampuan pasukan keamanan Irak untuk melindungi penduduk dari serangan-serangan gerilya seperti kelompok militan Sunni Al-Qaeda.

Pemboman di Baghdad dan di dekat kota bergolak Mosul tampaknya bertujuan mengobarkan lagi kekerasan sektarian mematikan antara orang-orang Sunni dan Syiah yang membawa Irak ke ambang perang saudara.

Meski ada penurunan tingkat kekerasan secara keseluruhan, serangan-serangan terhadap pasukan keamanan dan warga sipil hingga kini masih terjadi di Kirkuk, Mosul dan Baghdad.

Banyak orang Irak juga khawatir serangan-serangan terhadap orang Syiah akan menyulut lagi kekerasan sektarian mematikan antara Sunni dan Syiah yang baru mereda dalam 18 bulan ini. Puluhan ribu orang tewas dalam kekerasan sejak invasi pimpinan AS ke Irak pada 2003.

Jumlah korban tewas akibat kekerasan di Irak turun hingga sepertiga menjadi 275 pada Juli, bulan pertama pasukan Irak bertanggung jawab atas keamanan di daerah-daerah perkotaan sejak invasi pimpinan AS pada 2003.

Kekerasan menurun secara berarti di Irak dalam beberapa bulan ini, namun serangan-serangan meningkat menjelang penarikan militer AS, dan 437 orang Irak tewas pada Juni -- jumlah kematian tertinggi dalam kurun waktu 11 bulan.

Perdana Menteri Nuri al-Maliki memperingatkan pada Juni bahwa gerilyawan dan milisi mungkin meningkatkan serangan mereka dalam upaya merongrong kepercayaan masyarakat pada pasukan keamanan Irak.

Sejumlah serangan bom besar dilancarkan sejak itu, dan yang paling mematikan adalah serangan bom truk pada 20 Juni di dekat kota wilayah utara, Kirkuk, yang menewaskan 72 orang dan mencederai lebih dari 200 lain dalam serangan paling mematikan dalam 16 bulan.

Serangan bom pada 24 Juni di sebuah pasar di distrik Syiah Kota Sadr di Baghdad timurlaut juga merupakan salah satu yang paling mematikan pada tahun ini, yang menewaskan sedikitnya 62 orang dan mencederai sekitar 150.

Namun, Maliki dan para pejabat tinggi pemerintah menekankan bahwa 750.000 prajurit dan polisi Irak bisa membela negara dari serangan-serangan yang dituduhkan pada gerilyawan yang terkait dengan Al-Qaeda dan kekuatan yang setia pada almarhum presiden terguling Saddam Hussein.

Hanya sejumlah kecil pasukan AS yang menjadi pelatih dan penasihat akan tetap berada di daerah-daerah perkotaan, dan sebagian besar pasukan Amerika di Irak, yang menurut Pentagon berjumlah 131.000, ditempatkan di penjuru lain.(*)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009