Surabaya (ANTARA News) - Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof Din Syamsuddin menegaskan bahwa organisasi yang dipimpinnya menentukan Lebaran menggunakan dimensi waktu seperti halnya menetapkan shalat.

"Shalat sudah kita konversikan dalam dimensi waktu sehingga kita tidak menentukan shalat dengan rukyat karena itu Muhammadiyah menentukan awal Idul Fitri dengan konversi itu," katanya di Surabaya, Selasa.

Setelah berbicara dalam pelantikan Pembantu Dekan di Universitas Muhammadiyah (Unmuh) Surabaya, ia mengatakan, Muhammadiyah menerapkan hisab hakiki wujudul hilal untuk menentukan awal kalender Hijriah.

"Kami memprediksikan awal kalender Hijriah dengan cara eksak sesuai dengan ilmu falak, matematika, dan hukum alam sehingga kami dapat memprediksi awal Idul Fitri untuk 10 tahun, 20 tahun, hingga satu abad ke depan," katanya.

Menurut dia, keyakinan Muhammadiyah itu didasarkan pada pengetahuan sehingga Muhammadiyah dapat juga dikatakan melakukan rukyat dengan pengetahuan, seperti halnya menentukan waktu shalat.

"Dengan cara itu, kami tahun ini memutuskan ijtimak (konjungsi akhir kalender) terjadi pada Sabtu (19/9) dinihari dan ketinggian hilal pada waktu matahari terbenam mencapai 5 derajat sehingga hilal pasti terlihat dan Idul Fitri jatuh pada Minggu (20/9)," katanya.

Ia menyatakan Muhammadiyah meyakini hilal dalam hitungan 2 derajat atau 3 derajat dan bahkan 0 derajat pun dapat diprediksi, apalagi 5 derajat yang tercapai pada tahun ini.

"Dengan hisab hakiki wujudul hilal, kami dapat memutuskan awal kalender hijriah secara eksak. Kalau tidak begitu tentu akan sulit, apalagi sekarang ada climate change (perubahan iklim) yang sangat kompleks," katanya.

Namun, katanya, pihaknya tak mau saling menyalahkan dalam penetapan awal Ramadhan dan Idul Fitri 1430 H itu, karena semuanya sama-sama didasarkan pada keyakinan masing-masing.

"Yang penting, jangan saling menyalahkan, karena mereka yang berlebaran pada 20 September atau 21 September itu sama-sama mendapatkan pahala," katanya.

Pandangan Muhammadiyah itu berbeda dengan Nahdlatul Ulama (NU) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang mendasarkan awal Ramadhan dan Idul Fitri dengan rukyat untuk mengikuti hadits Nabi Muhammad SAW (berpuasa dan berbukalah dengan rukyat).(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009