Kupang (ANTARA News) - Guru Besar Universitas Nusa Cendana (Undana) Prof. Ir. Fredrik Lukas Benu, MSi, Ph.D mengemukakan kapitalisme dan radikalisme pasar bebas di era global telah gagal mengatasi persoalan kemiskinan yang meluas di dunia ketiga.

"Fenomena ini banyak berhubungan dengan kelangkaan bahan pangan di dunia dan kenaikan harga pangan yang mencapai di atas 50 persen," kata Prof. Benu, dalam pidato pengukuhan sebagai guru besar ekonomi produksi Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, di Kupang, Sabtu.

"Bagi saya, paling tidak ada tiga alasan mengapa kapitalisme dan radikalisme pasar bebas di era global gagal mengatasi persoalan kemiskinan," katanya.

Alasan pertama, katanya, adalah hilangnya visi peran berimbang pemerintah. Banyak "deregulasi" (ketidak teraturan) yang dihasilkan akibat tekanan pasar global sebagai contoh nyata dari kekurangan visi pemerintah dalam mengatur mekanisme perimbangan dalam perdagangan bebas.

Dia mengatakan, "deregulasi" yang dilakukan di banyak negara berkembang, juga merupakan buah dari `palang pintu` utama kapitalisme yaitu Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia (World Bank) yang banyak memberikan saran terhadap resesi yang dialami negara-negara berkembang.

"Sejak awal, memang kita semua cukup menyadari bahwa tawaran bantuan IMF seperti `madu dan racun`, tetapi kita terpaksa harus `menelannya` karena ketidak mampuan menahan tekanan kapitalisme," katanya.

Menurut dia, peran berimbang pemerintah sangat diperlukan dalam mengatur lalu lintas perdagangan, agar dapat berlangsung secara adil antarpelaku ekonomi di negara ini.

Namun, harus disadari bahwa mengharapkan adanya visi peran perimbangan pemerintah sendiri sangatlah tidak mungkin, karena kelemahan struktur pemerintahan di banyak negara dunia ketiga bahkan negara berkembang telah "tertawan" oleh radikalisme perdagangan bebas.

Bahkan dalam banyak kasus, katanya, justeru pemerintah berperan mendorong terjadinya ketimpangan sosial antarpelaku ekonomi.

"Lebih buruk lagi, bila ketimpangan yang terjadi akibat campur tangan pemerintah `yang salah` dibanding membiarkan pasar bekerja secara bebas," katanya.

Di sinilah, lanjut Benu, pentingnya kehadiran instrumen lain khususnya dunia kampus yang diharapkan mampu memainkan peranan perimbangan.

"Kampus sendiri memang bukan instrumen penentu kebijakan, tetapi minimal dunia kampus dapat memainkan peranan sebagai `antecedent variable`` atau variabel perantara dalam penguatan instrumen kebijakan untuk mewujudkan visi perimbangan," katanya.

Alasan kedua, menurutnya, adalah kurang adanya tanggungjawab sosial dari kaum kapitalis.

Menurut dia, penganut paham pasar bebas yang radikal memegang teguh asumsi klasik bahwa, jika setiap individu dibiarkan melakukan tindakan profit taking atau mengambil keuntungan tanpa adanya hambatan dari pihak manapun, khususnya pemerintah, maka efisiensi secara "agregat" akan terjadi dan kesejahteraan sosial pun akan tercipta dengan sendirinya.

"Paham pasar bebas ini salah besar karena kesejahteraan sosial tidak pernah terwujud, malah kesenjangan yang terjadi dan bahkan kesenjangan sosial ini semakin didorong pada era global," katanya.

Benu berpendapat, kaum profit seeker akan melakukan cara apa pun untuk memperoleh keuntungan setinggi-tingginya.

"Bagi mereka, benar atau salah tidak menjadi masalah, 'fair' atau tidak urusan kedua, yang penting untung dan akhirnya kreasi efisiensi sosial sebagaimana yang diharapkan malah berbuah kesenjangan, kemiskinan, dan kemelaratan di berbagai belahan dunia," kata Benu.

Alasan ketiga kapitalisme dan radikal gagal adalah peran kontraproduktif perbankan. "Hal ini bersangkut paut dengan sektor moneter global," katanya. (*)

Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009