Banyuwangi (ANTARA News) - Ratusan warga suku Oseng, Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, menggelar tradisi adat "barong ider bumi" yang bertujuan untuk menolak bala usai Lebaran.

Menurut sesepuh adat oseng, Siraj, Senin, "barong ider bumi" merupakan tradisi adat turun temurun para sesepuh yang dilakukan sejak 1840 dilatarbelakangi adanya wabah penyakit yang menyerang ratusan warga di desa setempat hingga menyebabkan kematian.

"Pagi sakit, sorenya sudah meninggal dunia dan sore sakit, paginya meninggal. Tidak hanya itu, ratusan hektare sawah juga mati diserang hama," katanya.

Setelah kejadian tersebut sesepuh warga desa mendapat petunjuk dari Buyut Cili yang merupakan nenek moyang yang menjadi panutan warga desa setempat supaya menggelar selamatan kampung dengan menggelar tradisi arak-arakan barong untuk menolak datangnya bencana.

Dalam ritual "barong ider bumi" ini, barong diarak keliling desa dengan diiringi pembacaan macapat (syair) yang berisi doa dan pemujaan pada nenek moyang dan Tuhan untuk menolak bahaya yang bisa mengancam desa atau wilayah Banyuwangi pada umumnya.

Ada beberapa rombongan yang mengiringi barong. Rombongan pertama adalah beberapa lelaki dewasa yang menghambur-hamburkan beras berwarna kuning, bunga sembilan warna dan uang logam Rp100.

"Uang logam ini diambil dari guci yang disebut Lukiran yang dibawa tujuh orang nenek. Satu guci berisi ratusan uang logam pecahan Rp100 yang berjumlah Rp99.900." katanya.

Siraj mengemukakan melihat jumlah yang ganjil pada benda-benda yang digunakan untuk upacara itu dikaitkan dengan kepercayaan dalam agama Islam yang dalam salah satu hadis Nabi disebutkan "Sesungguhnya Allah menyukai jumlah-jumlah yang ganjil".

Setelah mengarak barong keliling kampung, ritual ini diakhiri dengan makan bersama di sepanjang jalan kampung dengan menu pecel ayam kampung.

Adi Purwasi, seorang warga setempat mengatakan tradisi arak-arakan "barong ider bumi" sampai sekarang tetap dilestarikan oleh warga Desa Kemiren.

Dalam setiap ritualnya penuh dengan makna. Misalnya, penetapan tanggal 2 syawal dan pukul 14.00 WIB itu diartikan simbol angka dua melambangkan ciptaan Tuhan yang menciptakan sesuatu secara berpasangan. "Seperti kejadian siang malam, laki-laki perempuan," katanya.

Bila dilaksanakan di hari yang lain atau jam yang lain, dipercaya akan mendatangkan bencana.

"Waktunya digeser saja pernah mendatangkan kematian pada keluarga yang melestarikan barong. Itu terjadi sekitar sepuluh tahun yang lalu," katanya. (*)

Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009