Semarang (ANTARA News) - Dua dalang kondang, Ki Enthus Susmono dan Ki Djoko Hadiwijoyo (Ki Joko Edan) berduet memainkan lakon "Wahyu Teja Maya" dan mampu menghangatkan suasana di Lapangan Desa Glawan, Salatiga, Jawa Tengah, Rabu (23/) dini hari.

Dengan mengandalkan kepiawaian masing-masing, kedua dalang kondang tersebut secara bergantian memainkan wayang dengan alur cerita yang saling bersambung selama sekitar lima belas menit untuk setiap satu sesi adegan.

Lakon "Wahyu Teja Maya" berati wahyu atau petunjuk, namun masih bersifat maya (samar) dan belum jelas, menggambarkan keadaan perpolitikan Indonesia yang saat ini dipenuhi oleh janji dan program kandidat yang berlomba ingin menjadi menteri.

"Mereka yang ingin memeroleh jabatan sebagai menteri di kabinet mendatang sudah mulai berlomba-lomba menawarkan janji dan program, namun karena belum terlaksana sehingga masih bersifat maya," kata Enthus.

Keadaan itu, kata dia, tidak hanya terjadi saat mendekati penyusunan kabinet, namun terjadi juga saat Pemilu, dan baru-baru ini ada perseteruan antara dua lembaga penegak keadilan, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian.

Dalam lakon "Wahyu Teja Maya", ada dua tokoh yang saling bersaing untuk memperebutkan kedudukan sebagai penguasa khayangan, yaitu Semar dan Bathara Guru. "Mereka berdua sebenarnya merupakan tokoh panutan, namun motivasi masing-masing berbeda," katanya.

"Semar memiliki motivasi kebaikan jika menjadi penguasa khayangan, sedangkan Bathara Guru memiliki motivasi tidak baik karena ingin menghegemoni dengan kekuatan dan kekuasaan yang dia miliki seandainya menjadi penguasa khayangan untuk mempertahankan `status quo`," katanya.

Karena itu, kata Enthus, Bathara Guru memiliki niat jahat untuk memperebutkan posisi tersebut dengan cara membunuh Semar, bahkan Bathara Guru pun rela menyamar menjadi Kresna dengan pertimbangan pembunuhan itu tidak diketahui Sang Wenang (Tuhan).

Pada akhirnya penyamaran dan akal bulus Bathara Guru itu terbongkar, karena kebusukan akan tetap tercium meski ditutupi oleh apapun, dan kebaikan pasti akan menunjukkan jalannya karena keadilan yang dimiliki oleh Tuhan.

Menurut dia, lakon tersebut sengaja dipilih untuk memberi pelajaran kepada masyarakat bahwa saat ini suasana perpolitikan Indonesia memang seperti itu dan masyarakat harus menyikapinya secara arif dan bijaksana.

Ki Joko Edan menambahkan, pergelaran wayang memang dapat dimainkan secara situasional, tergantung pesan yang ingin disampaikan bercermin dari kondisi yang dihadapi oleh suatu masyarakat, karena wayang memang media yang cukup efektif.

Selain itu, kata dia, pergelaran itu diadakan untuk memenuhi kerinduan masyarakat terhadap kesenian wayang, termasuk kerinduan dalang untuk menyentuh masyarakat dan menyampaikan pesan-pesan kebaikan lewat wayang.

"Sebab, lembaga pedalangan selama ini tidak cukup memerhatikan nasib kesenian wayang dengan jarangnya diselenggarakan pementasan wayang, apalagi memerhatikan nasib para dalang yang menggantungkan hidup lewat wayang," kata Ki Joko.(*)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009