Amman (ANTARA News/AFP) - Kelompok-kelompok Palestina yang bersaing akan menandatangani perjanjian perujukan yang lama-ditangguhkan di Kairo pada 26 Oktober, Menlu Mesir Ahmed Abul Gheit mengatakan Senin, setelah pertemuan dengan Presiden Palestina Mahmud Abbas.

"Kami sepakat untuk mengadakan pertemuan bagi berbagai kelompok Palestina di Kairo pada 25 Oktober, sebelum penandatanganan perjanjian rekonsiliasi pada 26 Oktober," paparnya pada konferensi pers bersama dengan timpalan Jordanianya Nasser Judeh.

"Para pejabat Arab dan mungkin pejabat dari luar dunia Arab akan menghadiri penandatanganan perjanjian itu sebagai saksi."

Pengumuman itu dikeluarkan tak lama setelah Abul Gheit dan kepala intelijen Mesir Omar Suleiman mengadakan pembicaraan di ibukota Jordania, Amman, dengan Abbas, yang memimpin kelompok arus besar Fatah.

Belum ada komentar dari pihak Palestina.

Gerakan Perlawanan Islam (HAMAS) dan Fatah telah berselisih sejak pembelahan yang berpuncak dengan direbutnya kekuasaan dengan keras di Jalur Gaza oleh gerakan itu pada Juni 2007 setelah 18 bulan pemerintah koalisi yang goyah.

Menurut sari usul yang diperoleh oleh AFP, rencana itu akan meminta diadakannya pemilihan presiden dan parlemen di wilayah Palestina pada pertengahan tahun 2010.

Rencana itu juga menyerukan dukungan kepada pasukan keamanan yang didominasi-Fatah di bawah pengawasan Mesir dan pembebasan para tawanan di Jalur Gaza dan Tepi Barat, yang diperintah-Fatah.

Upaya penengahan Meir itu berpusat pada undang-undang pemilihan baru dan juga susunan pasukan keamanan Palestina serta satu komite untuk penetapan hubungan antara Jalur Gaza dan Tepi Barat sebelum pemilihan umum.

Mesir telah dua kali menangguhkan tanggal yang dijadwalkan bagi penandatanganan perjanjian rekonsiliasi karena ketidaksepakatan yang masih melekat antara kedua kelompok penting Palestina itu.

Sebelumnya, Abul Gheit dan Suleiman, yang adalah pejabat tunjukan-Kairo dalam upaya untuk menyatukan kelompok-kelompok yang bersaing itu, bertemu dengan Raja Jordania Abdullah II, yang mengatakan rekonsiliasi Palestina merupakan "kebutuhan utama" untuk mendirikan sebuah negara merdeka.

Pengumuman Abul Gheit itu disampaikan di tengah ketegangan baru antara pemerintah otonomi Palestina (PA), pimpinan-Abbas, dan HAMAS menyangkut dukungan PA bagi penangguhan pengesahan laporan PBB mengenai kemungkinan kejahatan perang yang dilakukan pada saat serangan Israel di Jalur Gaza.

Dewan Hak Asasi Manusia PBB memutuskan untuk menangguhkan persetujuan laporan yang disusun oleh mantan jaksa kejahatan internasional Richard Goldstone itu.

Ismail Haniya, perdana menteri pemerintah HAMAS di Jalur Gaza, menuduh Fatah, yang didukung Barat, telah membuat keputusan yang "tak masuk akal dan bersifat jahat" untuk menangguhkan persetujuan pada laporan itu.

"Bagaimana dapat kedua belah pihak (Fatah dan HAMAS) duduk di meja dan menandatangani perjanjian dalam situasi ini ... Ini telah menempatkan rintangan besar di jalan persatuan Palestina," ujarnya.

Namun Abul Ghet percaya bahwa masalah itu tidak akan menghentikan penandatanganan tersebut. "Saya pikir bahwa masalah Goldstone tidak mungkin akan mempengaruhi rekonsiliasi Palestina," tegasnya.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009