Jakarta (ANTARA News) - Pengurus Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan, terdapat indikasi bahwa terdapat oknum dalam Departemen Kesehatan yang terlibat dalam hilangnya ayat tembakau dalam RUU Kesehatan.

"Kami menegaskan bahwa terdapat indikasi Departemen Kesehatan adalah pihak yang terlibat," kata Tulus di Jakarta, Jumat.

Indikasi tersebut juga ditemukan oleh beberapa LSM yang tergabung dalam Koalisi Anti Korupsi Ayat Rokok (KAKAR).

Selain YLKI, beberapa LSM yang tergabung dalam KAKAR adalah Indonesia Corruption Watch (ICW), Indonesia Tobacco Control Network (ITCN), dan Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak).

Mantan Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kartono Muhammad yang juga tergabung dalam KAKAR menegaskan, pihaknya masih belum bisa menyebutkan nama-nama dari pihak yang diduga terlibat.

Namun, Kartono menegaskan bahwa pihaknya telah mengantongi beberapa nama yang akan dibeberkan pada waktunya nanti.

Ia menjabarkan, indikasi keterlibatan Depkes antara lain karena departemen tersebut seharusnya termasuk pihak yang mengecek kesiapan terakhir sebelum RUU Kesehatan dikirim untuk disahkan oleh Presiden.

"RUU Kesehatan sebelum disahkan juga diserahkan ke Depkes untuk dicek masalah pengeditan dan redaksionalnya, bukan untuk mengganti atau mengubah pasal dalam RUU itu," katanya.

Kartono juga mengatakan, bila terdapat indikasi penyuapan maka KAKAR juga akan melaporkan kasus hilangnya ayat tembakau tersebut kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Sementara itu, Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari secara terpisah mengatakan bahwa meski wacana untuk tidak mencantumkan ayat 2 pada pasal 113 muncul waktu sidang dengan panitia khusus RUU Kesehatan, namun pemerintah berusaha mempertahankan keberadaannya.

DPR dan pemerintah pun akhirnya sepakat mempertahankan keberadaan ayat itu.

"Waktu sidang paripurna juga masih lengkap, dokumen yang saya miliki ya yang sesuai dengan hasil sidang paripurna. Dan yang saya pakai yang disetujui sidang paripurna," katanya.

Namun, ujar Menkes, setelah penulisan ulang undang-undang pascasidang paripurna ayat tersebut tidak lagi tercantum.

"Saya juga bingung, mengapa bisa hilang. Kata DPR itu terjadi karena masalah teknis," kata Siti Fadilah.*
(*)

Pewarta:
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2009