Borobudur, Jateng (ANTARA News) - Tradisi "Sedekah Punthuk Setumbu" diharapkan menjadi kalender kegiatan kepariwisataan kawasan Candi Borobudur, di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah (Jateng).

"Jadikan ini kegiatan tahunan," kata Bupati Magelang, Singgih Sanyoto, pada pembukaan "Sedekah Punthuk Setumbu" di Desa Karangrejo, Borobudur, Sabtu.

Bupati mengatakan hal itu dalam sambutan tertulisnya yang dibacakan Kepala Bidang Sejarah, Museum Kepurbakalaan, Bahasa, dan Perfilman Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pemerintah Kabupaten Magelang, Djoni Susmiyarto, di Borobudur.

Tradisi itu ditandai dengan prosesi jalan kaki sepanjang sekitar satu kilometer oleh ratusan orang dengan mengenakan pakaian adat Jawa dari desa setempat menaiki Bukit Punthuk Setumbu (1.300 meter dari permukaan air laut). Tempat itu terletak sekitar dua kilometer sebelah barat Candi Borobudur.

Mereka tampak mengusung dengan tandu sejumlah tumpeng antara lain berisi nasi berbentuk gunungan, hasil bumi, dan ketupat. Belasan orang menuntun kambing dan sapi yang di lehernya berkalung ketupat.

Puluhan grup kesenian rakyat juga turut dalam prosesi itu seperti tarian grasak dan musik rebana, sedangkan sejumlah remaja putri mengenakan pakaian kebaya, masing-masing membawa kendi berisi air dan kembang mawar. Semua peserta prosesi terlihat berkalung ketupat.

Prosesi dipimpin sesepuh warga setempat, Dul Rosyid (90), yang diawali dengan siraman terhadap sepasang lelaki dengan perempuan di jalan desa itu.

Rosyid tampak memimpin doa, membakar kemenyan, dan bersama sejumlah tokoh masyarakat lainnya menanam pohon di bukit itu sebagai simbol tekad masyarakat untuk melestarikan lingkungan alam.

Tradisi itu digelar masyarakat secara turun temurun setiap "mangsa kapat" dalam perhitungan kalender Jawa.

Bukit Punthuk Setumbu tampak strategis untuk menyaksikan keindahan Candi Borobudur terutama saat pagi dan sore hari, bertepatan dengan matahari terbit dan matahari terbenam.

Di tempat itu antara lain terdapat dua mata air dan lima pohon asam yang diperkirakan berumur sekitar 175 tahun.

"Kebudayaan lokal dan tempat yang strategis di kawasan Borobudur perlu dikembangkan untuk kepariwisataan kawasan," kata Singgih.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, Bambang Gatot Hastowo, dalam sambutan tertulis yang dibacakan Kepala Bidang Sejarah dan Purbakala, Suhardi, mengatakan, perlu jalinan komunikasi yang kuat antara masyarakat dan pemerintah daerah untuk pengembangan potensi budaya dan pariwisata.

"Pengembangan tradisi ini akan menjadi daya tarik wisatawan, jika banyak wisata berkunjung ke sini tentu akan meningkatkan perekonomian rakyat," katanya.

Pada masa mendatang, katanya, pagelaran (pergelaran) tradisi itu perlu ditingkatkan kualitas sajian dan didukung oleh pemasaran kepada para wisatawan baik nusantara maupun mancanegara.

Kepala Satuan Pengawas Internal PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko, Jamari, menyatakan, pihaknya menyambut positif upaya masyarakat mengembangkan tradisi itu.

"Diharapkan menambah nuansa pengembangan pariwisata Candi Borobudur. Pada masa mendatang perlu menjadi kalender event (kegiatan)," katanya.

Kegiatan itu antara lain dimeriahkan pentas kesenian rakyat oleh sejumlah grup terutama berasal dari kawasan Candi Borobudur dan pameran produk makanan lokal serta kerajinan rakyat setempat.

Pengelola salah satu komunitas Borobudur, "Warung Info Jagad Cleguk", Sucoro, mengaku, dirinya bersama sejumlah pengelola komunitas itu mendapat informasi bahwa tradisi itu telah ada sejak era 1960.

"Sudah ada sejak era 1960, kami merintis untuk pengembangannya pada 3 Desember 2006," katanya.

Jika tradisi itu hendak menjadi kalender kegiatan kepariwisataan Borobudur, katanya, butuh studi kawasan dan komitmen kuat terutama dari masyarakat setempat dengan dukungan pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya.

Setiap tradisi yang lestari dan berkembang, katanya, pasti didukung oleh komitmen kuat masyarakatnya.

Ia mengatakan, di bukit itu sering terdengar kokok ayam pada malam hari sebagai tanda bakal terjadi pagebluk atau wabah ganas yang menelan banyak korban sehingga masyarakat mengantisipasi dengan gotong-royong membersihkan lingkungan alam sekitarnya.

"Biasanya ayam berkokok pada pagi hari, tetapi kalau hal itu terjadi malam hari, masyarakat lalu melakukan bersih desa supaya tidak terjadi pagebluk," katanya.(*)

Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009